Mohon tunggu...
Haikal Ivanza
Haikal Ivanza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Profil Berita

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Netizen Indonesia dan Berbagai Macam Ulah Jempol Panasnya

18 April 2021   06:48 Diperbarui: 18 April 2021   06:55 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ulah netizen Indonesia semakin hari semakin menjadi-jadi dan menuai berbagai kontroversi. Kini pasangan gay yang menikah di Thailand menjadi sasaran jempol panas netizen Indonesia. Sebagian netizen Indonesia menyebutkan berbagai komentar jahat seperti pernikahan mereka 'dilarang oleh Tuhan' dan 'bakal menyebabkan dunia cepat kiamat'. Melihat dari kasus sebelumnya yang tidak lama dari kasus tersebut netizen Indonesia dinobatkan menjadi netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara menurut studi yang dilakukan oleh Microsoft. Netizen Indonesia justru tidak instropeksi diri dan makin meradang serta balik menyerang akun sosial media Microsoft. Hal tersebut membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh Microsoft memang benar adanya.

Studi yang dilakukan oleh Microsoft tersebut bertujuan untuk mengukur tingkat kesopanan digital dari pengguna internet dunia saat berkomunikasi di internet. Studi tersebut menggunakan metode penelitian berupa survei yang melibatkan 16.000 responden dari 32 wilayah yang berbeda. Survei yang dilakukan tersebut dinilai memenuhi tingkat validasi yang cukup karena mencakup responden remaja hingga orang dewasa tentang interaksi online serta pengalaman mereka di dunia internet. Pencakupan riset ini mencapai 9 wilayah Asia-Pasifik, yaitu India, Australia, Malaysia, Singapura, Filipina, Taiwan, Thailand, dan tentu saja Indonesia. Pandemi covid-19 mendukung memudahkan survei karena penggunaan internet pada saat pandemi sangat meningkat mengingat masyarakat sering menghabiskan waktunya di rumah menggunakan internet.

Alasan Microsoft melakukan studi riset tersebut adalah mengukur tingkat hoaks dan penipuan di internet, faktor-faktor penyebar ujaran kebencian di internet, dan diskriminasi yang dilakukan di internet. Hasil yang diberikan oleh Microsoft mengungkapkan bahwa netizen Indonesia menempati urutan terbawah atau paling tidak sopan se-Asia Tenggara dibuktikan dengan indeks skor yang diberikan dari ketiga alasan diatas menunjukan masih tingginya ketidaksopanan yang dilakukan netizen Indonesia dalam berinternet.

Setelah Microsoft menyampaikan hasil dari studi tersebut seperti yang sudah dijelaskan diatas netizen Indonesia semakin meradang dan menjadi-jadi. Sosiolog dari Universitas Padjadjaran Ari Ganjar Herdiansyah menyebut kurangnya literasi oleh netizen Indonesia menyebabkan netizen Indonesia dinobatkan menjadi netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Menurutnya pada tahun 2018 tingkat literasi Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) yang termasuk dalam kategori yang cukup rendah. Menurut Ari literasi disini bukan sekedar membaca dan menyaring informasi namun juga kemampuan berkomunikasi di ranah digital.

Berbagai tanggapan dan kecaman timbul dari berbagai negara lain dan netizen Indonesia sendiri. Menurut psikolog sosial Hening Widyastuti netizen Indonesia terkenal sebagai netizen yang blak-blakan dan merespons langsung secara berani terhadap suatu yang tidak sesuai dengan pendapat mereka yang tentunya ada nilai positif dan negatif dari sikap netizen Indonesia tersebut. Sisi positif yang dapat diambil menurut Hening yaitu dibuktikan dengan netizen Indonesia sangat membela negaranya membangkitkan semangat bangsa dengan cepat dari lintas agama, suku, ras, dan budaya seperti pada kasus kejuaran dunia bulu tangkis All England. Sedangkan menurut Hening sisi negatifnya adalah ketika netizen Indonesia melontarkan komentar-komentar buruk yang mempengaruhi kondisi psikologis korban dari serangan netizen Indonesia tersebut.

Kembali pada kasus pasangan gay yang menikah di Thailand disimpulkan menurut komentar yang diberikan oleh netizen Indonesia bahwa budaya pernikahan sejenis tidak bisa ditoleransi oleh netizen Indonesia karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan secara religious di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut salah satu pasangan gay tersebut menempuh jalur hukum dengan melaporkan tingkah laku netizen Indonesia pada Ronnarong Kaewpetch dari Network of Campaigning for Justice setelah ia menerima ancaman mati terhadap keluarganya. Masalah ini berbuntut panjang hingga mempengaruhi hubungan diplomatis antara Indonesia dan Thailand. Warga negara Indonesia yang tinggal di Thailand untuk bekerja ataupun menempuh pendidikan menjadi sasaran kemarahan warga Thailand yang dimana mendapatkan pemutusan hubugan kerja, drop out dari Universitas, hingga ancaman pembunuhan. Hal ini sangat merugikan bagi Indonesia mengingat masalah tersebut terjadi karena ulah jempol panas netizen Indonesia semata.

Netizen Thailand membalas komentar-komentar netizen Indonesia yang menimbulkan adanya konten kebencian antar negara, penghinaan terhadap orientasi seksual, dan penghinaan terhadap agama tertentu. Sebagian netizen Indonesia bersama-sama meramaikan tagar #IndonesiasaysorryforThailand di platform media sosial twitter sebagai tanda permintaan maaf dari netizen Indonesia atas kasus yang terjadi pada pasangan gay Thailand tersebut. Manusia sebagai mahluk sosial yang menggunakan internet wajib mempunyai kode etik umum sebagai acuan dalam melindungi sikap serta kehormatan dalam pergaulan komunitas dunia maya. Etika berinternet Indonesia dinilai masih jauh dari kata baik hal tersebut berhubungan dengan peningkatan pengguna internet yang masif tidak diiringi dengan pemanfaatan ruang digital yang tepat. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G. Plate perlunya dibentuk komite etika berinternet yang akan merumuskan panduan untuk beretika dalam berinternet dan melandaskan pada kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan, dan penghormatan atas privasi individu lain dan data pribadi individu lain.

Selain ide untuk membentuk komite etika berinternet dan setelah dibuatnya Undang-Undang ITE yang membatasi tingkah laku masyarakat Indonesia dalam media elektronik untuk menghindari dari ujaran kebencian serta hoaks. Pemerintah Indonesia juga diminta untuk mengatur perusahaan media sosial dengan cara menyimpan rekam jejak arus lalu lintas bermedia sosial serta memberikan perusahaan platform media sosial tersebut tanggung jawab untuk selalu mengawasi segala tindakan digital yang terjadi di platform tersebut sebagai langkah memagari netizen dari hal yang tidak diinginkan seperti dua kasus diatas.

Pembatasan umur dan edukasi tentang internet juga diperlukan mengingat masifnya peningkatan pengguna internet di Indonesia yang dimana juga banyak darinya merupakan di bawah umur. Golongan dibawah umur sangat mudah meresapi segala yang didapatkannya dari internet dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari sehingga diperlukannya pembatasan berinternet. Pada Rancangan Undang-Undang Data Pribadi atau RUU PDP mengusulkan pembatasan usia penggunan internet adalah pada usia 17 tahun. Rancangan Undang-Undang tersebut memberikan sinyal bahwa perlibatan orang tua ketika anak dibawah umur 17 tahun dalam penggunaan internet. Langkah yang ditempuh memang cukup rumit namun dipercaya dapat mengarahkan kepada penggunaan media sosial yang lebih baik. Anak dibawah umur sangat membutuhkan pendidikan dan dukungan dalam mengelola diri untuk media sosial sehingga pada saat anak tersebut sudah masuk kategori cukup umur maka penggunaan media sosial akan lebih bertanggung jawab. Peran orang tua sebagai media pembatas langsung sangat penting dan orang tua harus memberikan pengawasan serta perhatian penuh kepada anak-anak mereka.

Respon dari masyarakat sangat positif mengenai pembatasan usia dalam berinternet yang dicanangkan oleh Rancangan Undang-Undang Data Pribadi tersebut. Masyarakat menyadari tindakan tersebut merupakan langkah tepat yang dapat diambil untuk masa depan berinternet Indonesia menuju yang lebih baik. Namun, untuk saat ini masih banyak masyarakat masih menanti-nanti kapan Rancangan Undang-Undang tersebut akan disahkan. Menkominfo mengharapkan Rancangan Undang-Undang tersebut akan dapat segera disahkan pada awal tahun 2021 ini. Hingga pada bulan Maret DPR RI merespons tuntutan masyarakat untuk mensahkan Rancangan Undang-Undang tersebut. DPR mengatakan Rancangan Undang-Undang tersebut dapat disahkan dalam waktu dekat yaitu tepatnya pada sidang selanjutnya DPR diharapkan rampung sebelum lebaran 2021.

Mengenai Rancangan Undang-Undang Data Pribadi (RUU PDP) masih terdapat perdebatan yang mengganjal mengenai RUU ini yaitu tentang lembaga pengawas data pribadi yang belum ada dalam isi naskah RUU PDP. Selanjutnya, yang menjadi persoalan lembaga pengawas data pribadi tersebut akan berada dibawah naungan pemerintah ataupun menjadi lembaga independen. Terlepas dari pengesahan RUU tersebut pentingnya pemberantasan perundungan siber juga tidak kalah pentingnya. Kasus perundungan siber seperti perundungan secara fisik, mental, kondisi keluarga, gaya berpakaian, dan bahkan secara religius. Masih sangat banyak ditemukan kasus perundungan yang dilakukan oleh netizen Indonesia di berbagai platform media sosial seperti instagram, facebook, twitter, tiktok, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun