Mohon tunggu...
Hagi Nuansa Febriani
Hagi Nuansa Febriani Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ciptakan Perikanan Berkelanjutan dengan Berhenti Berburu Hiu

23 Oktober 2020   14:00 Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pertama kali mendengar kata hiu tentu saja yang terlintas adalah tentang “sirip ikan hiu”  karena memang sirip nya yang tak jarang menjadi fokus utama dalam penangkapan ikan hiu. Sirip ikan hiu mengandung kolagen yang banyak serta dapat diolah menjadi olahan dengan rasa yang lezat dan kandungan gizi yang tinggi. 

Sirip hiu adalah target yang menggoda bagi para nelayan karena memiliki nilai ekonomu yang tinggi. Selain sirip nya, bagian tubuh lain dari ikan hiu juga seringkali dimanfaatkan. Hiu sirip pendek (hiu porbeagle) dianggap sebagai spesies bernilai tinggi untuk daging di pasar makanan laut Eropa dan AS dan untuk sashimi di Asia. Kulit hiu dapat dimasak dan dijadikan barang-barang kerajinan tangan seperti tas, dompet, sepatu, jaket dan ikat pinggang oleh industri kecil.

Menurut data konsevasi yang dipublikasikan oleh International Union for Concervation of Nature (IUCN) red list Indonesia dilaporkan sebagai negara kontributor terbesar sirip ikan hiu dunia dengan produksi antara 60.000 ± 100.000 ton/tahun (Sadidi 2013 dalam Wehantouw 2019). Jumlah penangkapan hiu yang diperoleh dari data Food and Agricultural Organization (FAO) pada tahun 2008 sebesar 109.248 ton dan meningkat pada tahun 2010 sebesar 113.626 ton (Lack and Sant 2011). 

Lebih parahnya lagi tak jarang para nelayan melakukan Shark Finning yaitu kegiatan memotong sirip hiu yang telah ditangkap secara hidup-hidup, lalu hiu tanpa sirip tersebut dibuang ke laut dalam keadaan masih bernyawa. Bagian sirip diipotong dan bagian tubuh lainnya dibuang. untuk kemudian mati secara perlahan karena pendarahan dan tidak bisa berenang. Kondisi ini membuat sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Adanya peluang pasar yang besar terhadap bagian sirip hiu membuat spesies ini terancam punah.

Hiu merupakan predator teratas dalam rantai makanan sehingga hiu dapat menentukan dan mengontrol jaring-jaring makanan yang sangat kompleks (Ferdiansyah dan Hidayat 2017). Oleh karena itu Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan mengenai pelarangan penangkapan hiu yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 59/PERMEN-KP/2014, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 18/KEPMEN-KP/2013. 

Selanjutnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2012, serta Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 dan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ikan hiu yang dilindungi undang-undang tersebut, meliputi hiu martil (Sphyrna leweni), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu gergaji (Pristis microdon), hiu paus (Rhyncodon typus), dan hiu monyet/cucut pedang (Alopias pelagicus).

Walaupun peraturan penangkapan ikan hiu sudah lama di keluarkan namun tetap saja nelayan di beberapa daerah kerap kali menangkap ikan hiu baik itu secara disengaja maupun tidak disengaja. Seperti yang dilakukan oleh nelayan Aceh yang diketahui mendaratkan ikan hiu  hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Lampulo, Banda Aceh. Kemudian Sekretaris Panglima Laot Aceh memberikan pendapat akan hal itu bahwa kebanyakan masyarakat nelayan di Aceh belum mengetahui jenis-jenis ikan hiu yang dilindungi undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Sekretaris Panglima Laot Aceh tersebut berani untuk memastikan bahwa tidak ada nelayan yang khusus untuk memburu hiu sedangkan hiu-hiu yang didaratkan di PPS Lampulo merupakan ikan hiu yang tidak sengaja tertangkap dalam alat tangkap pancing tradisional. Berdasarkan pendapat dari sekretaris panglima laot Aceh tersebut dapat diketahui bahwa, nelayan Aceh hanya minim informasi dan tidak sedikitpun berniat untuk berburu ikan hiu.

Berbeda dengan kasus yang terjadi di daerah Indramayu, masyarakat setempat masih mengeksploitasi ikan hiu secara sembunyi-sembunyi, bahkan kepala koperasi setempat mengatakan bahwa “ Tidak ada yang melanggar aturan di sini kalau para nelayan menangkap hiu di jaring mereka, mereka melepaskannya kembali ke habitatnya, jika hiu itu masih hidup," begitu ungkapnya, namun ternyata setelah beberapa kali dilakukan survey ditemukan beberapa industri perburuan hiu dengan para pekerja memotong ratusan sirip hiu di dermaga. 

Lebih ironisnya lagi di dermaga tersebut terdapat beberapa pekerja yang sedang mengukir kepala hiu martil dengan tujuan untuk menyembunyikan moncong berbentuk palu khas hiu tersebut. Kemudian lebih jauh ke bawah dermaga, hiu kecil ditumpuk seperti kayu bakar di dalam truk, dan dibawa untuk diekspor.

Lalu pertanyaan yang muncul dalam benak banyak orang tentu saja tentang bagaimana solusi yang dapat dilakukan? Siapakah yang akan paling berperan dalam menangani hal ini? Pada umumnya tentu pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang akan disalahkan, namun pada dasarnya terdapat dua pihak yang seharusnya berkontribusi untuk memecahkan permasalahan tersebut yaitu pihak dari pelaku usaha baik nelayan maupun industri dan pihak pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang memiliki wewenang penuh atas peraturan pengelolaan perikanan berkelanjutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun