Mohon tunggu...
HAFIIZH FATHUR R
HAFIIZH FATHUR R Mohon Tunggu... mahasiswa

saya seorang mahasiswa, yang mempunyai hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka di Bawah Lampu sorot Stadion Benteng Tangerang

16 Oktober 2025   00:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   20:39 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Deraian hujan membasahi kaca mobil jemputan yang membawaku pulang dari stadion. Di luar, bayangan para pemain yang masih berlatih terlihat samar. Aku memejamkan mata, mencoba meredam nyeri berdenyut di paha dan lutut kananku. Namun, rasa sakit itu tak semengerikan luka di dadaku. Dokter sudah berkata dengan nada datar, penuh kepastian yang mengubur harapan. “Seringnya Hamstring dan kerusakan tulang raju yang parah. Kamu tidak akan bisa lagi bermain di level kompetitif, Fizh.”

Hafiizh. Namaku. Tapi siapa Hafiizh tanpa sepak bola?

Sejak aku bisa berjalan, satu-satunya tujuan hidupku adalah menjadi seperti para legenda yang menghiasi dinding kamarku. Aku bukan hanya bermimpi menjadi pemain bola, aku ditakdirkan untuk itu. Setiap lekukan kotak pinalti, tepokkan bola ketika bola di tendang, bahkan bau rumput sintetis di pagi hari, adalah bagian dari napasku. Aku adalah kapten tim junior nasional, dijuluki “Si Tembok Besi” karena kekokohanku dan kerja kerasku di lapangan hijau. Scout dari klub Eropa sudah melirik. Masa depanku terbentang cerah, seperti lapangan yang diterangi lampu sorot pada malam pertandingan.

Semuanya berubah dalam sebuah laga persahabatan yang sepele. Sebuah dorongan keras saat aku melompat dari samping . Aku masih ingat suara ‘krek’  yang menusik telinga saatku jatuh dan salah tumpuan, diikuti oleh rasa sakit yang begitu tajam hingga dunia sekelilingku seketika senyap. Aku terjatuh, dan seolah-olah aku tak hanya merasakan patahnya tulang dan rasa kram, tetapi juga patahnya seluruh masa depanku.

Bulan-bulan setelah operasi adalah neraka. Bangku cadangan yang dulu kutempati dengan sabar menunggu giliran, kini terasa seperti kursi malapetaka. Aku menyaksikan rekan-rekanku berlari, mengejar mimpi yang dulu juga kukejar. Setiap tepuk tangan untuk mereka terasa seperti pisau yang mengoyak-ngoyak hatiku. Aku menjadi pendiam, mudah marah. Kamarku menjadi bunker, dan aku menjauh dari semua orang, termasuk Ikhsan, sahabatku, yang selalu berusaha menghibur dengan cerita-cerita lucunya.

“Fizh, ayo kita main game saja,” katanya suatu sore, mencoba menarikku keluar dari kubangan kesedihan.

“Lepaskan aku, Ikhsan! Kau tidak akan pernah mengerti!” hardikku, dan melihat wajahnya yang langsung layu adalah salah satu memori paling menyakitkan yang kuciptakan di tengah kepedihanku sendiri.

Orang tuaku, yang dulu selalu bersorak dari tribune, kini hanya bisa memandangku dengan pandangan penuh keprihatinan. Mereka mencoba menawarkan alternatif: kuliah manajemen, membantu usaha ayah. Tapi bagiku, itu semua seperti mengkhianati diriku sendiri. Bagaimana bisa aku, yang seluruh hidupnya diabdikan untuk sepak bola, tiba-tiba harus berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan?

Puncaknya adalah ketika pelatihku, Cing Madi, datang berkunjung. Dia adalah orang yang seperti ayah kedua bagiku.

“Fizh,” katanya, duduk di samping tempat tidurku. “Aku tidak akan berbasa-basi. Kariermu sebagai pemain profesional sudah berakhir.”

Kalimat itu, meski sudah kuduga, masih terasa seperti pukulan godam. Dadaku sesak, mataku berkaca-kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun