Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ternyata Manuskrip Kuno dari Kerinci Mengandung Pantun

2 Januari 2023   15:28 Diperbarui: 3 Januari 2023   16:03 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teks naskah kuno Kerinci yang berisi pantun (Sumber: British Library)

Kalau ada sumur di ladang
Boleh kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Boleh kita bertemu lagi

Tentu kita tidak asing lagi dengan pantun  di atas. Biasanya pantun tersebut diucapkan sebagai pengakhir sambutan. Pantun sebenarnya adalah puisi atau sastra lama yang masih lestari hingga sekarang. 

Pantun sangat mudah dikenali dari ciri-cirinya yaitu ditulis dalam empat baris, tiap baris terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, dan bersajak atau berima a-b-a-b.

Pantun di atas misalnya, memiliki pola rima yang sama pada akhir kalimat baris kesatu dan ketiga yakni "ng." Demikian juga pada akhir kalimat baris kedua dan keempat memiliki rima yang sama  "i."

Berdasarkan jumlah barisnya, pantun terbagi menjadi karmina, pantun biasa dan talibun. Pantun karmina hanya terdiri dari dua baris. Pantun biasa terdiri dari empat baris.

Sementara itu, talibun merupakan pantun dengan jumlah baris lebih dari empat tetapi jumlahnya genap. Ditinjau dari isinya, pantun juga terbagi menjadi pantun adat, pantun nasehat, pantun jenaka, pantun teka-teki, dan pantun percintaan.

Pantun umumnya tertuang di dalam berbagai kesenian, ritual, dan tradisi masyarakat di Nusantara hingga sekarang. Di kalangan etnis Melayu pantun kerapkali diucapkan di dalam adat istiadat perkawinan. Begitu pula di dalam lirik-lirik lagu.

Oleh karena nilai pentingnya tersebut, pantun ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda dunia oleh Unesco sebagai milik Indonesia dan Malaysia.

Sejarah Pantun

Pantun berakar dari tradisi lisan masyarakat Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara. Menurut Haji Salleh, pantun telah menyebar seiring dengan aktivitas perdagangan orang Melayu lewat pelayaran di masa lampau. 

Terutama ketika era Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terkuat di Nusantara. Oleh sebab itu, pantun memengaruhi berbagai kebudayaan etnis di seluruh Nusantara meski dikenal dengan nama yang berbeda.

Di Jawa pantun dikenal dengan nama parikan, di Sunda dikenal dengan nama susualan, di batak dikenal dengan nama umpasa, di Toraja dikenal dengan nama londe dan lain sebagainya.

Meski berakar dari tradisi lisan, pantun kemudian ditulis ketika bangsa di Nusantara mengenal tulisan. Utamanya ketika tulisan Jawi diperkenalkan. Oleh sebab itu, potongan-potongan pantun kerap ditemui di dalam naskah kuno yang berisi hikayat-hikayat lama.

Selain itu di Sumatera, unsur pantun juga ditemukan di dalam naskah yang ditulis dengan aksara lokal. Seperti di dalam naskah beraksara Ulu di Bengkulu, Sarwit Sarwono mengungkapkan adanya kaitan antara tradisi berpantun atau rejung di dalam masyarakat dengan tradisi tulis mereka. Indikasi pantun juga ditemukan di dalam naskah Incung di Kerinci.

Pantun dalam Naskah Kuno Incung

Di dalam artikel berjudul Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung,diungkapkan bahwa dari sekian ratus naskah Incung, 15 di antaranya mengandung unsur pantun.

Pantun tersebut ditemukan pada naskah prosa yang ditulis pada media bambu dan kertas. Pantun tersebut umumnya adalah pantun biasa dan talibun.

Meski tidak disusun dalam empat baris, pantun di dalam naskah kuno tersebut diawali dengan kalimat seperti "ini nyanyi aku sapatah, ini pula kata nyanyi, ini pula kata karang nyanyi, ini pantun aku sapatah, ini pantunku sadikit." Kalimat ini memudahkan dalam melacak pantun di dalam naskah prosa.

Pantun biasa di dalam naskah, misalnya pada  naskah bernomor TK 102 pusaka Depati Kuning Nyato dari Dusun Tebat Ijuk, Mendapo Depati VII tertuang unsur pantun biasa yang berbunyi:

tapurung ba'a ka tambang
tiba ditambang manjadi cawan
kasih burung ba'a tarabang
duduk di sini marintang kawan

Artinya:

Tempurung bawa ke tambang
Tiba di tambang menjadi cawan
Kasih burung bawa terbang
Duduk di sini merintangi kawan

Sementara itu, talibun ditemukan pada naskah bernomor TK 186 Pusaka Sutan Depati Susun Negeri dari Dusun Koto Baru Mendapo Semurup berbunyi:

Bihawak mandilah kau
Karubut apakan bunga
Karintang dipandam banyak
Hih awak matilah kau
Ajin idut apakan guna
Idut mangintang ninik mamak

Artinya:

Biawak mandilah engkau
Kerubut apakan bunga
Kerintang dipendam banyak
Hih, tubuh matilah engkau
Pernah hidup apakan guna
Hidup menghalangi ninik mamak

Pantun di dalam naskah Incung memiliki karakteristik yang cukup khas. Hal ini terlihat dari adanya interjeksi atau kalimat berinterjeksi antara sampiran dan isi pantun.

Interjeksi tersebut umumnya berbunyi "hih aduh hinyut haih ini nyanyi tadi" (TK 16), "tipak di hawak haku surang hini" (TK 258), "tipak panira badan" (TK 156), "hih adik sigadis anu" (TK 64), "hitu halah nyanyi" (TK 16), "his sahis undir" (TK 60), "hah saih" atau "hih saih" (TK 60, TK 93), "hih adik" (TK 60, TK 64), "hah" (TK 250), dan "hih" (TK 93, TK 94, TK 186).

Interjeksi ini bertujuan untuk mempertegas kembali rasa kesedihan dan menunjukkan kemana rasa kesedihan tersebut dialamatkan. Apakah kepada diri sendiri, seperti "ungkapan tipak di awak aku surang ini, " atau kepada oranglain seperti ungkapan "hih adik" atau "hih adik sigadis anu."

Kesalahan para Penulis

Tidak semua pantun di dalam naskah Incung ditulis secara sempurna. Penulis naskah Incung tidak luput dari kesalahan  ketika mengekspresikan tulisannya.

Kesalahan tersebut yang kerap dijumpai adalah adanya larik atau baris pantun yang tetinggal, terutama pada bagian isi. Kesalahan lain adalah pola rima yang tidak mengikuti kaidah berulang (a-b-a-b). Misalnya pantun pada naskah bernomor TK 60, tertulis pantun:

manumbuk di mata langsung (sampiran)
makan sirih karapa cambay (sampiran)
hah sa'ih dalam sakarong bulan hini (larik ber-interjeksi)
baramuk hati jantung (isi)
sayang dikasih cakap haku hidak tiba (isi)

Pada teks pantun di atas, terlihat hanya larik ke 1 dan ke 3 saja yang memiliki kesamaan rima akhir, sementara larik ke-2 dan ke-4 memiliki rima akhir yang berbeda.

Padahal sejatinya, penulis manuskrip bisa menyamakan rima akhir dengan mengubah kata "tiba" menjadi kata "sampai". Kata "sampai" memiliki makna yang sama dengan kata "tiba" sekaligus memiliki rima akhir yang sama dengan kata "cambay" pada larik ke-2. Namun tempaknya, penulis memilih diksi yang keliru saat menulis pantun.

Penutup

Sebagai penutup diungkapkan dalam artikel tersebut bahwa Unsur pantun pada teks naskah Incung, merupakan unsur "pemanis" dan penguat ungkapan dalam prosa ratap-tangis yang dihasilkan. Teks pantun yang dimuat, sangat terkait dengan ungkapan perasaan dan suasana hati penulis manuskrip. 

Bila prosa berupa kesedihan karena masalah percintaan, maka teks pantun yang ditulis juga berkenaan dengan masalah percintaan.

Pun begitu pula, ketika prosa menonjolkan kesedihan karena nasib dan untung yang buruk, maka teks pantun yang ditulis juga berkaitan dengan kemalangan nasib.

Akan tetapi, unsur pantun bukanlah unsur wajib di dalam prosa ratap-tangis. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya teks ratap-tangis yang tidak memiliki unsur pantun di dalamnya.

Referensi

Sunliensyar, Hafiful Hadi. (2022). Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung. Manuskripta, 12(2), 251-280. doi:10.33656/manuskripta.v12i2.218

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun