Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Semangat", Mengenal Konsep Roh dalam Ideologi Kerinci Kuno

7 Januari 2020   17:47 Diperbarui: 23 Maret 2022   21:46 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Rio sedang berkomunikasi dengan roh untuk menjemput simangat aman. Dokpri

Tak henti-hentinya Tuwo Rio -- nama panggilan seorang balian dalam tradisi kuno Kerinci--menyenandungkan mantra dihadapan sesajian dengan asap kemenyan yang mengepul. Lama kelamaan, senandung mantra itu semakin lirih, tampak benar sang Balian tengah diambang kesadarannya. Namun, tiba-tiba sekujur tubuhnya bergetar hebat, ia roboh dan tubuhnya mengejang. Segera ia ditutupi dengan kain panjang oleh anaknya.

Kini Balian Rio sudah berada di alam lain, dunia ketidaksadaran, tempat "arwah" manusia berkumpul. Dalam ketidaksadarannya itu, Rio sesekali terdengar masih menyenandungkan mantra, orang-orang di sekitarnya pun dapat mendengarkan bagaimana ia berkomunikasi dengan roh-roh manusia yang telah wafat termasuk dengan roh para leluhur.

Sesungguhnya kata "roh" adalah serapan dari bahasa Arab dan terkait erat dengan Islam. Roh atau ruh diartikan sebagai unsur non-materi yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya kehidupan. Kata ruh sendiri berasal dari kata Arriyah yang berarti angin, tak terlihat namun memiliki energi atau kekuatan. 

Tetapi jauh sebelum kedatangan Islam, seperti bangsa Austronesia lainnya, orang Kerinci kuno sudah mengenal konsep roh ini. Mereka menyebut roh ini dengan istilah "semangat"-"simangat" atau dalam bahasa Inggris kerap dikatakan sebagai "spirit".Dalam kepercayaan mereka, diyakini bahwa setiap benda dan setiap makhluk hidup memiliki "semangat". Kepercayaan ini pun mewujud pada sikap mereka dalam memperlakukan benda dan makhluk hidup di sekitar mereka,  terutama bagi unsur alam yang sangat penting dalam menyokong kehidupan. Misalnya, pada sumber-sumber air dan tanaman padi. 

Setrawati (2002) dalam skripsinya, menuliskan bahwa orang Kerinci yang bermukim di Siulak menghormati roh padi yang disebut sebagai semangat padi melalui upacara yang disebut sebagai Ngayun Luci. Upacara ini bertujuan mengundang  semangat padi agar padi yang akan dipanen nantinya mendapatkan hasil yang melimpah dan terlindung dari gangguan hama.

Mereka percaya bahwa sebagian semangat padi telah terbang ke hutan-hutan dan hinggap pada tanaman yang dianggap sebagai tanaman pelindungnya. Semangat padi itu menghilang karena  manusia menyakitinya saat proses penanaman hingga panen padi tahun sebelumnya. Misalnya ketika mereka menginjak atau menghempas padi untuk memisahkan tangkai dari bulirnya. Oleh sebab itu, bila semangat padi tidak dipanggil kembali maka ditakutkan mereka akan mengalami gagal panen atau hasil yang tidak melimpah.

Selain pada tanaman, "simangat" juga terdapat di dalam tubuh manusia. Orang Kerinci kuno membedakan simangat manusia menjadi dua bagian yaitu jiyo/jiwo dan Aman. Jiwo ini yang menjadikan manusia dapat hidup. Bila jiwo ini pergi dari tubuh, maka manusia akan mati, dan kembali berkumpul bersama roh para pendahulu mereka. Sedangkan, aman adalah semangat yang melindungi manusia dari serangan penyakit dan energi negatif  roh jahat. Bila aman ini hilang maka manusia akan rentan terkena penyakit, terlihat lesu dan tidak berenergi. 

Sayangnya, roh aman ini sangat gampang keluar dari tubuh lantaran manusia  melakukan hal yang terlarang atau karena kejadian tertentu yang menimpanya. Misalnya, orang yang selamat dari peristiwa kecelakaan, dipercaya sebagian amannya sudah pergi dari tubuh atau seseorang yang telah melanggar pantangan adat kemudian sakit-sakitan dipercaya bahwa amannya telah diambil oleh arwah sang leluhur yang marah atau oleh roh jahat yang terganggu oleh ulah mereka. Semangat aman ini kemudiam dibawa ke dunia mereka.

Agar aman dapat kembali ke tubuh si pemiliknya, maka Balian yang bertindak sebagai perantara antara dunia manusia dengan dunia roh akan melakukan ritual untuk menjemputnya kembali. Seperti yang dilakukan oleh balian yang dipanggil Tuwo Rio oleh masyarakat lokal di hulu Lembah Kerinci. Seorang Balian juga memiliki gelar adat yang diwarisi turun temurun, Tuwo Rio sendiri menyandang gelar balian sebagai Salih Bujang Beriyang Mirat.

Sesajian yang digunakan dalam ritual ke dunia lain. Dokpri
Sesajian yang digunakan dalam ritual ke dunia lain. Dokpri

Menurut Rio, untuk melakukan ritual tersebut diperlukan beraneka sesajian. Namun sesajian yang paling penting adalah satu tangkai kembang atau bunga yang disebut sebagai bungo Tungkat Bumi atau bungo Kaki Tiung. Tanaman ini agak sulit dicari karena bentuknya yang mirip dengan rumput dan tumbuh liar hanya ditempat tertentu. Tanpa bunga yang satu ini, Rio tidak dapat memasuki dunia roh.

Menurut Rio, dunia Roh ini berada di atas langit dan pintu untuk memasukinya berada di atas gunung yang bernama Semani Urai. Hanya melalui ritual-lah, ia mampu mengeluarkan roh amannya dari tubuh dan untuk selanjutnya dipandu oleh roh sang leluhur untuk menuju dunia itu.

Lebih lanjut menurutnya, roh manusia yang telah mati dikumpulkan berdasarkan usia kematian dan jenis kelamin mereka. Roh para lelaki dikumpulkan di tempat bernama Balai Bujang dan  roh para perempuan ditempatkan di Balai Gadih. Mereka yang mati di usia tua dikumpulkan di Balai Tuo-tuo. 

Balian Rio sedang membacakan mantra dihadapan sesajiannya. Dokpri
Balian Rio sedang membacakan mantra dihadapan sesajiannya. Dokpri

Sedangkan roh aman kanak-kanak tidak dibawa ke langit melainkan dibawa ke sebuah lubuk bernama Lubuk Timbang Anak yang berada di kaki Gunung Simani Urai. Aman kanak-kanak biasanya diambil oleh roh jahat yang disebut sebagai Induk Bulo oleh masyarakat. Sosoknya mirip dengan makhluk bernama Wewe Gombel dalam kepercayaan Jawa. 

Menurut legendanya, Induk Bulo ini adalah seorang bidadari yang menjelma menjadi roh jahat dan senantiasa mencuri aman bayi yang ditemuinya. Ia mencari setiap bayi manusia karena dianggap sebagai wujud dari anaknya sendiri. 

Konon dulunya, sang bidadari menikahi manusia dan memiliki seorang anak yang masih bayi. Namun ia kembali ke langit setelah selendangnya ditemukan. Penguasa langitpun menolak kehadiran sang bidadari karena telah melanggar pantangan. Iapun kembali ke bumi dan berusaha mencari bayinya.  Sayangnya, sang bidadari tidak mampu menjelma menjadi manusia, ia telah berubah menjadi roh jahat dan bergentayangan di antara dunia manusia dan dunia gaib.

Kurang lebih satu jam di dalam alam ketidaksadaran, perlahan Rio kembali tersadar. kali ini ia tidak sendiri tetapi dengan membawa aman si pesakit yang ia obati.  Roh aman itu dimasukkan kembali ke dalam tubuh, dan dilindungi dengan benang tiga warna yang dipasangi cincin perunggu agar tidak diganggu kembali oleh roh jahat.

Satu hal yang menarik, tatkala Rio berkomunikasi dengan para arwah di dunia lain, suara dan gaya bicaranya seketika berubah mengikuti gaya bicara orang-orang mati yang dijumpainya di alam sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun