Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Konservasi Bangunan Cagar Budaya Kayu Secara Tradisional

6 November 2017   08:58 Diperbarui: 8 November 2017   05:24 3192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Tradisional Kudus, sumber. ikons id

Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di wilayah tropis serta kaya akan budaya memiliki banyak tinggalan-tinggalan budaya material terutama benda atau bangunan yang terbuat dari kayu. Bila ditelusuri hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia memiliki rumah tradisional yang terbuat dari kayu.

Sayangnya, kayu merupakan bahan organik yang tidak bisa bertahan lama. Apalagi di wilayah tropis seperti di Indonesia, kayu memiliki musuh utama yakni kelembapan dan serangga khususnya rayap yang menyebabkab percepatan pelapukan terhadap kayu tersebut. Oleh sebab itu, sangat jarang tinggalan arkeologis ditemukan tinggalan arkeologis berbahan kayu yang telah berusia sangat tua, kecuali pada kasus-kasus tertentu, seperti kayu yang terbakar menjadi arang atau temuan kayu di dalam lahan basah seperti temuan perahu di situs Punjul Harjo.

Akan tetapi dalam bentuk bangunan tradisional, kebanyakan bangunan tradisional yang menjadi cagar budaya terbuat dari kayu, seperti bagian-bagian tertentu dari bangunan kraton, masjid-masjid kuna, serta bangunan-bangunan tradisional etnis-etnis di Indonesia yang boleh dikatakan cukup tua, belum lagi berbagai benda dengan material kayu yang menjadi barang-barang etnik.

Sebenarnya secara kimiawi dan modern, banyak metode yang dapat dilakukan dalam upaya mengkonservasi material kayu seperti penggunaan insektisida untuk membunuh rayap, menggunakan cat, pernis dan plitur, mengolesi material kayu dengan 'minyak tanah', 'solar', dan 'oli bekas'. Namun, hal tersebut sangat riskan diterapkan kepada benda atau bangunan cagar budaya.

Dalam konservasi cagar budaya dikenal dua prinsip utama yakni autentisitas dan reversibilitas. Auntentisitas adalah prinsip untuk melakukan sekecil-kecilnya treatmen untuk mempertahankan keaslian dari benda maupun bangunan cagar budaya, sementara itu reversibilitas adalah prinsip di mana setiap treatmen yang dilakukan dapat dihilangkan kembali sehingga benda atau bangunan tidak berubah penampilannya ketika treatmen dihilangkan. Oleh sebab itu, bahan-bayan alami dan cara-cara tradisional yang digali dari pengetahuan etnis-etnis di Indonesia menjadi cara yang patut untuk diperhitungkan dalam upaya konservasi kayu.

Balai Konservasi Borobudur, menjadi salah satu institusi utama yang melakukan berbagai penelitian dalam upaya konservasi cagar budaya di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut dapat dengan mudah diakses di situs Balai Konservasi Borobudur, di antaranya mengenai cara konservasi kayu secara tradisional.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cahyandaru, bahwa masyarakat Kudus menggunakan bahan alami berupa  tembakau, cengkeh dan pelepah pisang dalam mengkonservasi rumah tradisional mereka. Caranya sangat mudah, tembakau dan cengkeh direndam selama 3x24 jam, atau dapat pula dengan cara direbus hingga mendidih, setelah itu larutan tembakau-cengkeh dioleskan menggunakan pelepah pisang pada material kayu.

Unsur pelepah pisang dapat diganti dengan kuas, jikalau memang tidak ada, karena pelepah pisang sifatnya hanya sebagai alat pengoles saja. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur, larutan tembakau dan cengkeh ini sangat efektif dalam membunuh rayap kayu kering. Selain itu, warna kayu yang telah diolesi oleh tembakau dan cengkeh aka terlihat lebih cerah. Namun kelemahannya, efek tembakau-cengkeh ini tidak bertahan lama sehingga harus sering dilakukan paling tidak setahun sekali.

Cara tradisional lain yang digunakan oleh etnis-etnis di Indonesia adalah dengan metode pengasapan. Cara seperti ini berlaku pada etnis-etnis di Sumatera, Sulawesi, dan Bagian Timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara. Bangunan-bangunan rumah tradisional yang terbuat dari kayu pada umumnya memiki ruang yang berfungsi sebagai dapur. Dengan kata lain, dapur tidak dipisahkan dengan bangunan lain, tetqpi menjadi bagian atau ruang di dalam bangunan rumah itu sendiri.

Asap yang ditimbulkan dari aktivitas-aktivitas di dapur mampu menjaga kelembapan di dalam bangunan. Selain itu, kandungan kimia yang terdapat dalam asap-asap pembakaran akan menyebabkan bagian luar kayu mengalami proses pengarangan, kayu yang telah dilapisi senyawa tar dari asap pembakaran tersebut tidak akan dihinggapi oleh rayap. Namun begitu, cara ini memiliki efek samping yakni warna hitam yang ditimbulkan pada kayu justru akan menghilangkan autentisitasnya.

Wanita Sumba sedang memasak di dalam rumahnya, sumber. Kompas travel
Wanita Sumba sedang memasak di dalam rumahnya, sumber. Kompas travel
 Cara ketiga adalah dengan metode perendaman terutama untuk material bambu. Cara seperti ini lazim dilakukan oleh masyarakat tradisional di Indonesia. Mereka merendam bambu yang akan dijadikan sebagai bahan bangunan selama beberaba bulan di dalam air yang tergenang. Menurut penelitian A. Sulthoni dari UGM, pada proses perendaman ini, akan dihasilkan suatu enzim, enzim tersebut dapat melarutkan pati yang terdapat pada kayu atau bambu, di mana pati itu sendiri merupakan makanan dari serangga terutama kumbang bubuk. Akibatnya, minat kumbang bubuk menyerang kayu dan bambu menjadi berkurang karena ketidaktersediaan makanan di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun