Halo Kompasianer !
Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan minuman es coklat, bukan? Biasanya, yang terlintas dalam benak kita hanyalah segelas minuman dingin bercampur bubuk coklat, disajikan cepat di kios pinggir jalan. Tapi siapa sangka, di balik kesederhanaan itu tersembunyi semangat besar dan cita rasa yang jujur. Es Coklat Selaras bukan sekadar minuman. Ia adalah cerminan dari sebuah perjalanan hidup, keyakinan pada kualitas, dan mimpi besar dari seorang anak muda yang memilih berdiri di atas kakinya sendiri.
Di sebuah sudut tenang di Jalan Bimo Kurdo, Demangan, Yogyakarta, berdiri sebuah kios sederhana bertuliskan Es Coklat Selaras. Sekilas mungkin tampak seperti tempat minum biasa, namun bagi mereka yang pernah mencicipi segelas coklat di sana, ada pengalaman rasa dan kehangatan yang tak mudah dilupakan. Dibalik lumeran es coklat yang segar itu, tersimpan kisah tentang mimpi besar, semangat mandiri, dan bubuk kakao asli yang jadi landasan rasa dan harapan.
Yusuf, pemilik sekaligus peracik utama di balik Es Coklat Selaras, adalah seorang lulusan S1 yang memutuskan untuk menapaki jalur berbeda setelah wisuda tahun 2020. Alih-alih mengikuti arus melamar pekerjaan, ia memilih membangun sesuatu dari nol. ia sempat mencoba berjualan baso bakar, namun keuntungan yang minim membuatnya berpikir ulang. "Awalnya saya jualan baso bakar," kenangnya. "Tapi setelah setahun, hasilnya ga seberapa. Akhirnya coba-coba bikin es coklat lewat resep di media sosial. Ternyata lebih banyak yang suka." Siapa sangka, eksperimen kecil itu justru menjadi awal dari cerita besar.
Modal awalnya hanya empat juta rupiah, Yusuf memulai usahanya menjual es coklat. Bukan sembarang bubuk coklat, tapi ia menggunakan bubuk kakao asli, bukan bubuk instan yang biasa dipakai minuman kekinian. Pilihan ini menjadi kunci utama mengapa es coklat racikannya begitu berbeda, ia ingin menghadirkan produk yang lebih jujur kepada lidah pembeli yang menjadi daya tarik tersendiri. "Saya percaya rasa itu gak bisa bohong. Dan bubuk kakao asli itu memang beda. Lebih kuat, lebih pekat, lebih nagih," ujarnya sambil tersenyum. Ia tahu bahwa di tengah banyaknya produk instan dan serba cepat, kejujuran dalam rasa adalah sesuatu yang dicari oleh pelanggan.
Harga yang ditawarkan pun bersahabat. Untuk ukuran jumbo hanya Rp10.000, sedangkan medium Rp9.000. Strategi ini sukses menjangkau kalangan mahasiswa, terutama dari UIN Sunan Kalijaga. Tak heran jika dalam waktu enam bulan pertama, usaha ini mulai dikenal di kalangan mahasiswa. Tanpa perlu gimmick atau iklan besar-besaran, Es Coklat Selaras berkembang lewat rasa dan reputasi.
Semangat kemandirian dan kejujuran terasa dalam setiap aspek usahanya. Yusuf tidak mengambil jalan pintas seperti membeli lisensi merek waralaba atau menjual produk rebranding. Semua ia rintis sendiri: dari eksperimen rasa, pembuatan logo, desain kios, hingga strategi pemasaran. Meski media sosial seperti Instagram digunakan untuk mengenalkan produk, nyatanya kekuatan utamanya justru dari promosi mulut ke mulut dan kepercayaan pelanggan.
"Buat saya, berdagang itu bukan cuma soal rasa, tapi juga soal etika. Saya berusaha ramah ke setiap pelanggan. Kalau ada masukan soal rasa, langsung saya perbaiki," katanya. Sikap ramah, keterbukaan terhadap kritik, dan keinginan untuk selalu memperbaiki kualitas menjadi prinsip yang ia pegang teguh. Baginya, pelanggan bukan sekadar pembeli, tapi bagian dari proses tumbuhnya usaha. Hal ini justru menjadi poin plus yang membedakan usaha Yusuf dengan Es Coklat lainnya.
Saat ditanya apakah ingin membuka cabang, Yusuf mengangguk mantap. "Pasti. Tapi bukan cuma soal untung, saya pengen kasih dampak. Bisa ngasih kerjaan buat orang lain itu impian saya sejak awal." Impian itu bukan sekadar ambisi bisnis, tapi wujud nyata dari keinginan seorang pemuda untuk menciptakan perubahan di sekelilingnya dari segelas Es Coklat.