Di ujung timur Indonesia, di antara pulau-pulau hijau dan laut sebening kaca, ada sebuah sekolah kecil yang berdiri di Pulau Kalio, salah satu pulau terluar di Raja Ampat. Sekolah ini tidak besar, tidak megah, dan bahkan tidak memiliki sinyal telepon. Tapi dari tempat terpencil inilah, tumbuh mimpi-mimpi besar yang menggetarkan hati.
Namanya Pak Damar. Seorang guru muda dari Jawa Timur yang menerima penempatan tugas mengajar di Kalio lima tahun lalu. Banyak orang mengira ia hanya akan bertahan sebentar. "Paling kuat satu semester," begitu kata kepala desa waktu itu. Tapi hari berganti, bulan berlalu, dan tahun pun mengalir. Pak Damar tetap tinggal.
Ia tinggal di rumah panggung sederhana yang dibangun warga. Pagi-pagi sekali, saat kabut belum sepenuhnya terangkat dari permukaan laut, Pak Damar sudah bersiap. Ia membawa buku-buku, kapur, dan papan tulis kecil dari rumahnya menuju sekolah yang berlantai papan dan berdinding anyaman bambu.
Murid-muridnya tidak banyak. Kadang hanya delapan orang. Tapi semangat mereka tak pernah kecil. Dan di antara mereka, ada satu anak yang membuat Pak Damar tak bisa berhenti berharap: Beni.
Beni adalah anak kelas lima yang baru pindah ke Kalio dari pulau sebelah. Rumahnya berada di Pulau Munir, sekitar dua kilometer menyeberang laut. Tidak ada jembatan, tidak ada perahu antar-pulau, dan tidak ada akses internet. Tapi setiap pagi, Beni mendayung sampan kecil milik kakeknya untuk pergi sekolah.
Kadang air laut tenang, kadang angin kencang. Sering kali hujan turun sejak malam, membuat air laut bergelombang tinggi. Tapi Beni tetap datang. Tubuh kecilnya basah, tangannya kasar karena mendayung sendiri, tapi semangatnya seperti bara yang tak pernah padam.
Suatu pagi, cuaca begitu buruk. Angin memukul-mukul atap rumah, dan langit mendung menggantung sejak subuh. Pak Damar berpikir, "Hari ini Beni pasti tidak datang." Tapi sekitar pukul delapan, suara pelan terdengar dari depan kelas.
"Permisi, Pak..."
Itu suara Beni. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia menggenggam buku dalam plastik kresek.
Pak Damar cepat menghampiri. "Beni, kenapa kamu tetap nekat berangkat? Ombak sedang tinggi, Nak."
Dengan suara lirih dan mata jernih, Beni menjawab, "Saya ingin bisa baca peta, Pak. Biar bisa jadi pelaut hebat seperti kakek, tapi yang tahu arah."