Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh jadi pribadi yang baik—berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan tahu aturan. Tapi gimana kalau anak justru kelewat nakal? Suka bolos, membangkang, susah diatur, bahkan mungkin terlibat tawuran atau perundungan. Banyak orang tua akhirnya merasa frustrasi, lalu mencari jalan cepat: titipkan saja ke sekolah berasrama atau bahkan ke barak militer. Biar dibina, biar disiplin, biar tahu rasa.
Tapi benarkah solusi itu tepat? Apakah memang “barak” atau "sekolah asrama" adalah jalan keluar terbaik? Atau justru hanya solusi instan yang menyelesaikan masalah di permukaan saja?
Mari kita bahas pelan-pelan, dengan kepala dingin dan hati terbuka.
Pendidikan Itu Dimulai dari Rumah
Seringkali orang tua datang ke sekolah dengan keluhan, “Pak, anak saya di rumah susah diatur. Tolong dibina di sekolah.” Kalimat seperti itu seolah mengisyaratkan bahwa semua tanggung jawab pendidikan ada di pundak guru. Padahal, pendidikan itu tidak pernah hanya tanggung jawab sekolah.
Pendidikan adalah proses panjang, dan ia bermula dari rumah. Dari cara orang tua berbicara, memperlakukan anak, memberi contoh, menyayangi, memberi batasan, dan menjadi teladan. Anak belajar bukan dari omongan saja, tapi dari apa yang dilihatnya setiap hari di rumah.
Kalau dari kecil anak terbiasa melihat kekerasan, celaan, atau ketidakadilan, maka jangan heran kalau mereka pun tumbuh jadi pribadi yang kasar, pemberontak, atau tidak percaya diri. Jadi sebelum melimpahkan masalah ke sekolah atau barak, mari bercermin dulu: sudahkah kita sebagai orang tua benar-benar hadir dalam proses pendidikan anak?
Bangkitnya Anak Itu Karena Pemahaman
Salah satu hal penting yang sering dilupakan adalah: manusia itu berubah karena pemahaman. Anak bisa berubah perilakunya, bukan karena dihukum atau ditakut-takuti, tapi karena dia tahu kenapa dia harus berubah. Karena dia sadar, karena dia paham.
Anak yang ketahuan mencuri kemudian dihajar, apakah dia akan berhenti mencuri? Belum tentu. Kalau pemahaman masih sama, dia akan mencuri lagi, dengan lebih ahli, berusaha supaya tidak ketahuan.
Kalau anak merokok, ketahuan ayahnya, kemudian dihukum. Selesai? Selama tidak ada perbaikan pemahaman, anak akan merokok lagi, di luar rumah, atau kalau tidak ada ayahnya. Artinya, harus ada perbaikan terhadap pemahaman anak tentang sesuatu.
Kalau pemahaman masih kacau, ya jangan heran kalau sikap juga kacau. Maka daripada buru-buru cari tempat yang “keras” untuk anak, mari tanya dulu: apa sebenarnya yang anak kita pahami tentang hidup? Tentang benar dan salah? Tentang tanggung jawab dan kebebasan?