Hari Jumat, 7 Februari lalu, menjadi hari yang penuh makna bagi keluarga besar Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan (ITB-MG). Kami mengadakan tasyakuran (Baca: Acara Tasyakuran ITB-MG) sebagai bentuk syukur atas selesainya pembangunan gedung baru kampus kami. Acara berlangsung meriah, dihadiri oleh PDM Grobogan, anggota BPH ITB-MG, dosen, karyawan, dan rekan-rekan. Meski hanya sederhana, suasana penuh kebahagiaan dan harapan baru terasa begitu kental. Namun, siapa sangka, di balik kemeriahan itu, ada sebuah musibah yang justru membawa berkah tak terduga.
Setelah acara selesai, satu per satu laporan mulai berdatangan. Banyak teman-teman yang mengeluh sakit perut. Awalnya, kami mengira itu hanya masuk angin biasa atau mungkin efek dari makanan yang terlalu pedas atau berminyak. Namun, keluhan itu semakin banyak, dan beberapa orang bahkan mengalami gejala yang cukup parah. Lebih dari dari separuh peserta mengalami diare dan muntah-muntah. Saya sendiri termasuk yang merasakan sakit perut, tapi alhamdulillah, gejalanya masih ringan dibandingkan yang lain.
Salah satu yang paling parah adalah Mbak Neta Belliawan, seorang dosen muda yang baru bergabung dengan kami di ITB-MG. Kondisinya begitu buruk hingga keluarga memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Saat itu, kami belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami hanya berharap semoga Mbak Neta cepat pulih. Dan bisa segera bergabung dengan kami di kampus.
Baru siang ini, saat kami berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguknya, kami mendapatkan kabar mengejutkan. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dan USG, dokter menemukan bahwa usus buntu Mbak Neta mengalami peradangan parah, bahkan sudah bernanah. Ternyata, radang usus buntu ini sudah berlangsung lama, tapi tidak terlalu dirasakan oleh Mbak Neta. Baru setelah keracunan makanan, masalah serius ini terungkap.
Dokter yang menangani Mbak Neta pun heran. Bagaimana bisa usus buntu yang sudah separah itu tidak dirasakan? Jika tidak terdeteksi sekarang, bukan tidak mungkin kondisi Mbak Neta akan semakin memburuk dan berpotensi mengancam nyawa. Dari sini, kami semua mengambil hikmah: di balik musibah, ada berkah yang tersembunyi. Keracunan makanan yang awalnya terlihat sebagai bencana, justru menjadi jalan untuk mendeteksi masalah kesehatan yang lebih serius.
Awal Mula Musibah
Hari itu, semua terasa sempurna. Gedung baru yang megah, suasana hangat, dan kebersamaan yang terjalin begitu indah. Kami menyajikan berbagai hidangan lezat untuk para tamu. Semua berjalan lancar hingga acara selesai. Namun, sore harinya sudah ada pegawai yang mengeluh sakit perut. Beberapa jam kemudian, pesan-pesan mulai berdatangan melalui chat pribadi WhatsApp. Keponakan saya malam hari nelpon “Om kena diare nggak?” tanyanya. Saya heran kok dia tahu saya kena diare. “Ini mas Katon kena diare sudah 7 – 8 kali bolak-balik ke kamar mandi. Dia juga muntah-muntah,” terangnya. Mas Katon ini suaminya yang juga dosen di kampus yang sama dengan saya. Jadi ponakan saya ini menebak bahwa saya juga mengalami hal yang sama, lha wong yang dimakan juga sama. Makin lama, makin banyak yang mengeluh, dan kami mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Saya sendiri merasakan sakit perut, tapi masih bisa saya kondisikan. Beberapa teman lain tidak seberuntung itu. Mereka mengalami mual, muntah, dan diare. Mbak Neta adalah yang paling parah. Keluarganya langsung membawanya ke rumah sakit karena kondisinya semakin lemah akibat kekurangan cairan. Saat itulah, kami semua mulai panik. Apa yang sebenarnya terjadi?
Deteksi Dini yang Menyelamatkan
Di rumah sakit, Mbak Neta menjalani serangkaian pemeriksaan. Hasilnya malah ditemukan penyakit lain pada mbak Neta. Dokter menemukan bahwa usus buntunya meradang parah dan sudah bernanah. Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi tidak terdeteksi karena Mbak Neta tidak merasakan gejala yang signifikan. Radang usus buntu yang tidak tertangani bisa berakibat fatal, bahkan mengancam nyawa. Dokter pun heran, bagaimana mungkin Mbak Neta bisa bertahan dengan kondisi seperti itu tanpa merasakan sakit. Padahal biasanya orang dengan kondisi seperti itu akan merasa sakit yang sangat kata dokter.
Keracunan makanan yang dialami Mbak Neta ternyata menjadi “pemicu” yang membawa masalah kesehatan tersembunyi ini ke permukaan. Tanpa disadari, musibah kecil itu justru menyelamatkan Mbak Neta dari bahaya yang lebih besar. Dokter segera melakukan tindakan medis untuk menangani radang usus buntu tersebut. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar, dan Mbak Neta kini dalam proses pemulihan.
Hikmah di Balik Musibah
Kisah ini mengingatkan kita bahwa tidak semua musibah datang untuk menyakiti. Terkadang, di balik peristiwa yang terlihat buruk, ada hikmah besar yang tersembunyi. Keracunan makanan yang dialami oleh Mbak Neta dan beberapa rekan lainnya awalnya terlihat seperti bencana. Tapi, siapa sangka, justru itu yang menjadi jalan untuk mendeteksi masalah kesehatan yang lebih serius.