Mencari sarapan pagi di Purwodadi selalu jadi hiburan. Bagi saya, sarapan bukan sekadar urusan mengisi perut, tapi juga tentang menikmati suasana. Sebagai kota kecil, Purwodadi dikelilingi oleh sawah-sawah yang hijau membentang. Udara segar, sinar matahari yang masih lembut, dan pemandangan alam yang asri seolah mengajak kita untuk melambatkan waktu dan menikmati setiap detiknya. Bagi yang suka bangun pagi, ini adalah momen terbaik untuk mencari sarapan. Dan di Purwodadi, sarapan pagi bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang menciptakan kenangan. Salah satu sarapan yang patut dicoba adalah nasi tumpang.
Kalau kamu kebetulan lewat daerah Sambak, tepatnya dari arah Bundaran Simpang Lima ke arah barat daya menuju Lapangan Danyang, kamu akan menemukan deretan penjual sarapan pagi. Di sini, nasi tumpang menjadi salah satu pilihan yang menarik. Menikmati nasi tumpang di pinggir jalan, lesehan, sambil melihat pemandangan sawah yang siap panen, adalah pengalaman yang mengasyikkan. Apalagi kalau ditemani keluarga, rasanya seperti kombinasi sempurna antara makanan enak, suasana menyenangkan, dan keindahan alam. Maknyuss.
Apa Itu Nasi Tumpang?
Nasi tumpang mungkin belum sepopuler nasi pecel atau nasi rames, tapi bagi yang sudah mencoba, rasanya pasti sulit dilupakan. Nasi tumpang adalah hidangan tradisional Jawa yang terdiri dari nasi putih yang disajikan dengan lauk utama berupa tumpang, yaitu semacam sambal atau bumbu kental yang terbuat dari tempe bosok (tempe yang sudah difermentasi lebih lama). Tumpang ini memiliki cita rasa gurih, pedas, dan sedikit asam, yang membuatnya begitu khas.
Selain tumpang, biasanya ada juga lauk pelengkap seperti tempe goreng, telur rebus, kerupuk, dan lalapan seperti kemangi, kubis, atau kacang panjang. Kombinasi ini membuat nasi tumpang menjadi sarapan yang lengkap dan mengenyangkan.
Sejarah Nasi Tumpang: Dari Tempe Bosok Jadi Hidangan Lezat
Nasi tumpang punya cerita menarik di baliknya. Konon, hidangan ini berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang tidak mau menyia-nyiakan makanan. Tempe yang sudah terlalu lama dan mulai membusuk (disebut tempe bosok) ternyata masih bisa dimanfaatkan. Dengan diolah menjadi bumbu tumpang, tempe bosok ini justru menghasilkan cita rasa yang unik dan lezat.
Dulu, nasi tumpang sering dianggap sebagai makanan rakyat kecil karena bahannya yang sederhana dan murah. Tapi sekarang, justru karena keunikannya, nasi tumpang mulai dilirik oleh banyak orang, termasuk mereka yang biasanya makan di restoran mewah. Rasanya yang autentik dan nostalgia yang dibawanya membuat nasi tumpang semakin digemari.
Kenikmatan Nasi Tumpang Pinggir SawahÂ
Bayangkan ini: pagi-pagi sekali, sekitar jam 6.30, kamu sudah duduk lesehan di pinggir jalan. Di depanmu ada piring nasi tumpang yang masih mengepul panas. Sinar matahari pagi menyinari wajahmu, sementara angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari sawah. Tanaman Padi yang menghijau menunggu siap dipanen bergoyang-goyang lembut, seolah ikut menikmati sarapanmu.
Nasi tumpang yang kamu santap akan terasa begitu istimewa. Tumpangnya yang gurih dan pedas menyatu sempurna dengan nasi putih yang masih hangat. Tempe mendoannya renyah, sementara kerupuknya menambah tekstur yang pas. Kamu juga bisa menambahkan sambal jika suka pedas, atau menikmati lalapan segar untuk menyeimbangkan rasa.
Ini bukan sekadar sarapan, ini adalah momen yang membuat pagimu terasa sempurna.
Kenapa Harus Coba Nasi Tumpang di Sambak?
Selain rasanya yang lezat, nasi tumpang di Sambak punya keunikan tersendiri. Pertama, suasana pagi di pinggir sawah yang begitu menenangkan. Kedua, harga yang terjangkau. Kamu bisa menikmati sarapan lengkap dengan budget yang ramah di kantong. Ketiga, keaslian rasanya. Penjual di sini biasanya menggunakan resep turun-temurun, sehingga cita rasanya tetap autentik.