Â
"Atuuk, oo atuuk..."
Suara melengking itu sering terdengar di ruang keluarga kita, mengalun dari layar kaca. Si kembar botak, Upin dan Ipin, membawa kita ke Kampung Durian Runtuh, desa kecil yang rasanya lebih akrab daripada kota tempat kita tinggal. Logat Melayu mereka yang khas, celoteh nakal, dan pelajaran sederhana tentang kehidupan ternyata bukan hanya disukai anak-anak. Orang dewasa pun, tanpa sadar, ikut tergelak mendengar tingkah si Mail, Ehsan, atau Jarjit dengan pantunnya yang---aduhai---selalu gagal.
Tahukah Anda, Upin dan Ipin sebenarnya hanya "proyek iseng"? Les' Copaque Production awalnya membuat serial ini sebagai program Ramadhan untuk anak-anak di Malaysia. Tapi siapa sangka, dari iseng menjadi fenomena. Setelah debutnya sebagai spin-off dari film Geng: Pengembaraan Bermula (2009), dua bocah kembar ini tumbuh menjadi ikon budaya pop yang melintasi batas negara. Bukan hanya anak-anak Malaysia, anak-anak di Indonesia, India, hingga Filipina pun merasa mereka bagian dari keluarga Kampung Durian Runtuh.
Rahasia suksesnya? Barangkali karena Upin dan Ipin tidak berusaha terlalu keras untuk menjadi sesuatu yang "besar." Mereka hanya menjadi diri mereka sendiri: polos, apa adanya, dan membawa nilai-nilai lokal yang hangat. Di tengah gempuran animasi global dengan aksi dan efek yang serba wah, Upin dan Ipin menyodorkan sesuatu yang lebih sederhana: cerita tentang keluarga, persahabatan, dan kehidupan sehari-hari yang penuh makna.
Namun, animasi Malaysia tidak berhenti di sana. Keberhasilan Upin dan Ipin menjadi pembuka jalan bagi karya-karya lain yang tak kalah memukau. Ada BoBoiBoy dari Monsta Studio, yang memperkenalkan kita pada superhero anak-anak dengan kekuatan yang unik dan cerita yang lebih modern. Lalu ada Ejen Ali dari Wau Animation, yang bermain di dunia spionase futuristik dengan kualitas produksi yang membuat kita bertanya, "Ini benar dari Asia Tenggara?"
Dan favorit saya, Mechamato. Sebagai spin-off dari BoBoiBoy, ia menunjukkan betapa beraninya Malaysia melangkah lebih jauh. Grafis yang memikat, cerita yang matang, dan kerja sama dengan platform global seperti Netflix dan Cartoon Network menjadikannya bukti nyata bahwa industri animasi Malaysia sudah duduk di meja yang sama dengan raksasa dunia.
Lebih dari sekadar hiburan, animasi Malaysia kini menjelma menjadi eksportir budaya yang signifikan. Ya, budaya. Karena setiap kisah yang mereka ciptakan membawa warna, rasa, dan identitas Malaysia ke dunia. Dalam setiap petualangan, kita bisa mencium aroma nasi lemak, mendengar lengkingan gamelan, dan merasakan kehangatan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.
Indonesia? Kita punya Nussa dan Rara, atau Adit & Sopo Jarwo. Tapi, mari jujur saja: kita masih jauh tertinggal. Animasi kita, meski layak diapresiasi, belum memiliki kepercayaan diri dan daya saing yang sama dengan tetangga kita. Barangkali kita butuh lebih banyak "proyek iseng" seperti Upin dan Ipin. Karena, seperti yang mereka buktikan, hal kecil yang dikerjakan dengan hati bisa membawa dampak besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI