Bagaimana perasaan Anda bila ditunjuk menjadi bos di sebuah perusahaan terkenal, menggantikan seorang bos hebat yang telah purna tugas? Lalu, gebrakan pertama apa yang akan Anda lakukan di masa awal memimpin perusahaan terkenal yang telah kehilangan pengaruhnya dalam beberapa tahun terakhir itu agar kembali menjadi perusahaan yang disegani?
Situasi itulah yang dirasakan pria bernama Julen Lopetegui Argote ketika ditunjuk menggantikan Vicente del Bosque untuk menangani Timnas Spanyol pada 21 Juli 2016 lalu. Itu membuat Lopetegui seakan tiba-tiba dibawa terbang ke puncak kariernya. Betapa tidak, Lopetegui yang awalnya “pengangguran”, lantas dipilih jadi pelatih Timnas Spanyol---posisi yang diidamkan banyak pelatih.
Ya, Spanyol akhirnya memutuskan untuk membuka “lembaran baru” setelah dua kegagalan beruntun di Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016. Namun, tidak sedikit yang meragu---mungkin juga Anda---apakah lembaran baru Timnas Spanyol itu akan langsung berwarna indah atau justru semakin kelam seperti periode dua tahun terakhir.
Sebab, bisa dibilang, Lopetegui yang berada di puncak, sejatinya “dalam bahaya”. Dia rawan terjatuh dari puncak. Sebab, orang akan dengan mudah membandingkan dirinya dengan sang pendahulunya yang bergelimang sukses. Dan memang, membandingkan Lopetegui dengan Bosque yang pernah membawa Spanyol juara Piala Dunia 2010 dan juara Piala Eropa 2012 setelah menerima “tongkat estafet” dari Luis Aragones pasca juara Piala Eropa 2008, rasanya bak mengomparasi pria mapan dengan anak muda yang minim pengalaman di dunia kerja
Karenanya, mudah untuk mengira, pria kelahiran 28 Agustus 1966 ini bakal gagal. Apalagi, tugasnya berat. Dia harus bisa ‘membangkitkan kembali’ Spanyol, si ‘penyulap bola’ yang selama empat tahun terakhir justru kehilangan ‘kemampuan sulap’ nya.
Toh, rasanya tidak adil bila cepat menuding seseorang akan gagal sementara dia bahkan belum memulai pekerjaannya. Itu bahkan jauh lebih buruk dari sikap kelewat percaya diri meyakini sebuah tim bakal juara ketika turnamen bahkan belum dimulai.
![Tugas berat menggantikan Del Bosque/Daily Mail](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/08/01/3679231700000578-0-image-m-92-1469108242948-579f02f3d47a61aa2afef30e.jpg?t=o&v=770)
Dalam bahasa anak muda, Lopetegui meminta anak asuhnya untuk “move on”. Bangkit. Bahwa, Spanyol memang pernah mengalami masa-masa romantis di sepak bola. Tetapi, yang terjadi dalam dua tahun terakhir adalah masa pahit. Karenanya, tidak ada gunanya bila terus membanggakan masa lalu. Yang terpenting adalah mengakhiri masa pahit untuk kembali merasakan masa romantis itu.
Maka, hal pertama yang dia lakukan adalah menyadarkan publik Spanyol pada realitas kekinian. Bahwa, Tim Spanyol sekarang bukanlah tim yang seperti enam atau empat tahun lalu. Simak komentar pertamanya, sesaat setelah dirinya diumumkan sebagai pelatih baru Timnas Spanyol.
“Kami sangat bangga dengan masa lalu tim ini. Tetapi, kami tidak hanya hidup dengan masa lalu,” ujarnya.
“Kami harus terus melangkah karena sepak bola tidak berhenti. Fokus kami adalah masa sekarang dan masa depan,” sambung dia.