Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Blogger, Ayo Mainkan "Peran yang Dilupakan" Media Massa

5 Februari 2017   17:34 Diperbarui: 5 Februari 2017   17:38 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana, menembus batas kenormalan blog/kompasiana.com

Sudahkah Anda menyebarkan berita buruk hari ini? Sudahkah Anda menebar kebencian hari ini?

Begitu tulisan status di akun media sosial seorang teman, akhir pekan kemarin. Tulisan satire yang menggelikan itu lantas direspons banyak follower nya dengan cara bercandaan. Boleh jadi, kawan saya itu memang tengah bercanda. Tapi, tulisan itu merepresentasi kegundahan nya akan kegaduhan di media massa mainstream dan media sosial yang terjadi sekarang ini. Bahwa, kabar buruk, kini paling diminati. Bahwa, jargon bad news is good news yang oleh sebagian orang dianggap kuno itu, nyatanya tidak pernah ditinggalkan media.  

Ray Williams, seorang blogger di Amerika Serikat, dalam ulasannya di psychologytoday.com pernah menulis tulisan menarik berjudul “Why We Love Bad News More Than Good News”. Dia memaparkan hasil studi dari Pew Research Center for People & the Press. Bahwa, selama 20 tahun terakhir, preferensi berita di media AS, sangatlah stagnan. Bahwa berita tentang perang, terorisme, kiriminal dan skandal, masih merupakan tema paling diminati konsumen media di sana. Bahkan, perbandingan antara berita bagus (good news) dan bad news (berita buruk) 1 banding 17.  

Tulisan itu sampai pada pertanyaan “mengapa orang lebih suka berita buruk dibanding berita bagus”? Jawabannya ternyata berkaitan dengan faktor psikologis dan syaraf.  Banyak orang lebih menyukai sisi dramatis dan kejadian negatif. Banyak orang lebih peduli perihal ancaman hal buruk dibanding prospek kabar bagus. Kita cenderung khawatir dibanding gembira.

Itu di Amerika Serikat. Bagaimana di Indonesia? Rasanya tidak jauh berbeda. Media ‘arus utama’ di Indonesia, juga lebih suka mengabarkan berita-berita buruk seputar kontroversi, konflik, ironi, kabar menyedihkan, memprihatinkan dan mengerikan yang memunculkan keresahan dan kekhawatiran ketimbang membingkai berita bagus yang berisi harapan dan optimisme. Kabar buruknya, ulah media yang seperti itu, kini mendapat ‘duet maut’ bernama media sosial yang dieksploitasi sebagai kendaraan untuk menyebar berita bohong (hoax). Sehingga, bila pengguna media/media sosial ditanya optimis atau pesimis dengan masa depan Indonesia, rasanya akan jauh lebih banyak yang menjawab pesimis.

Kenapa? Karena otak kita lebih sering disuguhi berita-berita buruk. Ada banyak media yang lebih memilih peran mengabarkan berita buruk. Asal menarik. Demi rating. Demi iklan. Media seolah telah membentuk selera kita sehingga kita lebih suka berita buruk. Kabar buruknya, kita tidak punya kesempatan untuk tahu banyak kabar bagus. Sebab, dalam media, kabar baik malah dianggap kabar buruk (good news is bad news). Reporter yang mendapat kabar bagus, dianggap sama saja tanpa berita. Peran inilah--peran mengabarkan kabar bagus--yang bisa diambil oleh blogger melalui tulisan-tulisan di blog pribadi maupun blos sosial seperti halnya Kompasiana.  

Semesta Mendukung Blogger  

Ya, kita bisa memainkan peran sebagai penyebar kabar bagus. Biarlah ada banyak orang menganggap bad news is good news. Namun, sebagai blogger yang benar, yang menulis dengan mengedepankan nurani dan bukan sensasi demi rating, kita bisa mengimbangi kemunculan berita buruk di media mainstream dengan kabar bagus yang memunculkan harapan dan menumbuhkan optimisme. Bila media menganggap kabar bagus tidak menarik, sebagai blogger, kita bisa menjaga sebuah berita bagus tetap menjadi berita bagus. Bahwa good news is good news.  

Apalagi, seperti ujaran Paulo Coelho yang terkenal itu, bahwa jika kita menginginkan sesuatu maka alam semesta akan bersatu membantu kita, kini semesta seolah mendukung blog dan blogger untuk berkembang cepat. Bahkan sangat cepat. Kemajuan digital kini telah ‘menaikkan kelas’ berita blog dibandingkan era sekira sedekade tahun lalu. Dulu, ketika kita menulis di blog, palingan yang tahu hanya segelintir orang yang tahu alamat blog kita. Efek tulisan kita pun hanya mengena ke beberapa orang saja karena kekuatan penyebaran berita yang lemah. Bandingkan dengan sekarang ketika ada banyak tulisan di blog yang dengan mudah menjadi tren di google dan dibaca oleh jutaan orang. Sekarang, mudah sekali tulisan dan foto yang kita unggah di blog, dishare di media sosial lantas menjadi viral. Mendunia.

Ya, efek tulisan di blog kini bahkan bisa jauh lebih dashyat ketimbang tulisan di media mainstream. Malahan, banyak media arus utama yang kini “nyari berita” di blog sosial dan juga media sosial. Sudah sering terjadi, berita-berita yang nge-hits dan populer di Kompasiana, lantas dijadikan ulasan utama oleh media besar. Karenanya, tidak salah bila Kompasiana mengubah slogan Sharing and Connecting yang telah populer selama delapan tahun, menjadi Beyond Blogging. Karena memang, blog kini telah menembus batas kenormalan blog.

Nah, tentunya itu menjadi peluang besar bagi para blogger untuk bisa memainkan peran nya lebih optimal. Peran untuk menyebarkan berita-berita bagus kepada masyarakat yang oleh media komersial acapkali dilupakan dan tidak dianggap penting. Kita bisa ikut memainkan peran itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun