Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguak Alasan Mereka yang Takut Dipilih Jadi Pengurus RT

16 Oktober 2021   09:27 Diperbarui: 16 Oktober 2021   13:22 3531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suasana saat penghitungan suara pemilihan ketua RT 001/RW 18. Kompleks Perumahan Bumi Cilebut Damai, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.| Sumber: Dokumentasi Tim KPU BCD Bogor via Tribunnews.com

Bagi sebagian warga yang tinggal di kawasan perumahan, ada satu momen 'menakutkan' yang paling mereka hindari.

Bukan momen dipungut iuran untuk kebersihan dan keamanan. Lha wong kebanyakan kemampuan ekonomi warganya menengah ke atas. Membayar iuran bukan hal sulit. Toh itu manfaatnya kembali kepada mereka sendiri.

Momen yang bikin takut adalah ketika pemilihan ketua RT. Ketika ada woro-woro agar warga menghadiri rapat di balai ataupun ruang fasum untuk memilih ketua RT.

Bila ada undangan seperti itu, hampir pasti yang datang hanya sedikit saja. Mungkin tidak sampai separoh total jumlah warga yang menghuni lingkungan perumahan tersebut.

Ada yang mendadak beralasan pulang larut malam dari kantor. Ada yang mengirim share loc di grup WhatsApp bahwa dirinya sedang berada di luar kota.

Atau mungkin ada yang tengah berada di luar Bumi karena sedang menginspeksi planet Mars hehe.

Malah, seorang teman di kantor dulu sengaja menginap di kantor. Dia enggan pulang ke rumah. Sebab, malam itu ada pemilihan ketua RT. Dia diusung tetangganya untuk jadi ketua tapi tidak berkenan.

Maka, cara terbaik untuk menghindari rapat itu adalah dengan tidak pulang ke rumah. Sebab, bila pulang ke rumah, dia cemas bila dijemput dan dipaksa datang ke rapat.

Dia berpikir, dengan tidak menghadiri rapat, tentu dirinya tidak akan dipilih jadi pengurus.

Ilustrasi pemilihan Ketua RT dan RW. Tidak sedikit orang yang enggan ditunjuk menjadi pengurus RT/Foto: sumeks.co
Ilustrasi pemilihan Ketua RT dan RW. Tidak sedikit orang yang enggan ditunjuk menjadi pengurus RT/Foto: sumeks.co

Cerita ketua RT yang tidak dipilih, tapi siapa yang mau

Ya, selama 10 tahun lebih tinggal di lingkungan perumahan, dari pengalaman pribadi dan juga mendengarkan cerita pengalaman teman, kira-kira seperti itulah momen 'keseruan' pemilihan ketua RT.

Tentu saja itu tidak bisa digeneralisir.

Tidak bisa digebyah uyah bahwa di semua lingkungan perumahan, warganya memang seperti itu ketika pemilihan ketua RT. Enggan bahkan takut bila ditunjuk jadi ketua RT.

Saya yakin, masih ada banyak lingkungan perumahan yang warganya sangat antusias mengikuti pemilihan menjadi ketua RT. Bahkan, mereka sampai membuat poster dan baliho untuk kampanye agar dipilih warga lainnya.

Tapi, sepengetahuan saya, memilih ketua RT di lingkungan perumahan memang tidak mudah. Karenanya, jabatan mereka bisa sangat lama karena tidak ada warga lainnya yang mau menjabat.

Pengalaman saya, di dua tiga tahun awal tinggal di perumahan, ada pemilihan ketua dan pengurus RT. Nah, karena waktu itu belum banyak warganya, mereka yang hadir saat rapat, otomatis jadi pengurus.

Bila tidak salah ingat, dulu saya pernah ditunjuk jadi pengurus RT di bidang keagamaan.

Tugasnya ya tidak jauh-jauh dari urusan keagamaan. Seperti menyiapkan kegiatan ibadah saat bulan Ramadan, halal bihalal, hingga menghubungi pihak pemerintah desa bila ada warga meninggal.

Seiring waktu, ketua RT yang kebetulan rumahnya tepat di samping saya, mengundurkan diri karena pindah domisili. Itu artinya, harus ada pemilihan ketua RT yang baru.

Seperti yang saya sampaikan di narasi sebelumnya, tidak banyak warga yang mau datang di momen seperti itu. Meski juga tidak sedikit. Bila rapat, itu sudah memenuhi quorum.

Hanya saja, mereka yang datang tidak ada yang mau gagah berani mengajukan diri sebagai ketua RT. Yang ada malah saling tunjuk. Si A nunjuk si B. Si B nunjuk si C. Begitu seterusnya sampai huruf Z.

Malam semakin larut, lantas ada warga yang akhirnya mau mengajukan diri. Dia bersedia menjadi ketua RT. Warga lainnya pun setuju. Jadilah warga tersebut menjadi ketua RT baru.

Beberapa tahun kemudian, pola seperti itu kembali berulang ketika pak RT 'selesai' masa jabatannya. Lantas, dilakukan pemilihan ketua RR lagi. Dan, 'yang menang' adalah siapa yang mau. Sebab, tidak ada pemilihan selayaknya pemilihan kepala desa di kampung. 

Alasan enggan jadi pengurus RT

Sebenarnya, mengapa ada banyak orang yang enggan menjadi ketua RT di lingkungan perumahan yang ditinggalinya?

Dari hasil bincang-bincang dengan beberapa teman, mayoritas mengaku tidak mau repot. Ingin punya waktu bersantai dengan keluarga ketika di rumah.

Banyak warga yang tinggal di perumahan memang menganggap rumahnya tempat beristirahat paling nyaman. Usai pulang kerja, langsung berdiam di rumah.

Bagi mereka, seharian bekerja di tempat kerja saja sudah menyita waktu, apalagi bila ketambahan tugas jadi ketua RT.

"Di kantor kerjaan sudah banyak, terus nyampe rumah disibukkan urusan warga. Kapan istirahatnya," celetuk seorang teman yang mengaku enggan jadi ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya.

Dan memang, jadi pengurus RT, utamanya ketua RT itu harus siap repot.

Sebab, di lingkungan perumahan, ada banyak warga baru yang perlu mengurus urusan administrasi kependudukan. Beda dengan di kampung yang umumnya warganya sudah menetap lama.

Seringkali di malam hari, warga datang ke rumah ketua RT demi meminta surat pengantar dan tanda tangan.

Pas sedang santai beristirahat bersama keluarga, ada warga datang. Karena mereka memang baru bisa mengurus urusan di perumahan saat malam. Saat siang mereka di kantor.

Dulu, seringkali ada warga baru yang 'nyasar' mengetuk pagar rumah saya ketika hendak ke rumah ketua RT. Karena kebetulan rumah saya bersebelahan dengan ketua RT. Saya jadi paham, betapa sibuknya jadi ketua RT.

Belum lagi bila hendak ada kegiatan di perumahan. Tentu pengurus harus rela meluangkan waktu untuk rapat malam. Dan, rapatnya pun tidak sekali. Tapi berkali-kali.

Semisal ketika di perumahan kebagian sebagai lokasi tempat pemungutan suara saat pemilihan legislatif tahun 2019 lalu. Kebetulan, karena dilibatkan sebagai pengurus, saya ikut merasakan persiapannya intens.

Pendek kata, menjadi ketua RT memang tidak mudah. Apalagi bagi mereka yang merasa 'tidak punya waktu' karena saking sibuknya. Mereka harus siap repot.

Kalau nggak mau jadi ketua RT, jangan jadi 'kompor meledug'

Bahkan, tidak hanya siap repot, menjadi pengurus dan ketua RT juga harus punya 'telinga tebal' dan stok sabar melimpah ketika menghadapi warganya.

Itu karena warga yang tinggal di perumahan, ada yang 'unik'. Meski di kampung juga ada tipikal unik begini.

Kadang, karena merasa berpendidikan tinggi dan punya jabatan terhormat di tempat kerjanya, mereka jadi berlagak bossy. Ingin dilayani. Merasa orang lain harus melayani dirinya. Padahal, di perumahan itu dia warga biasa. Tak berbeda dari warga lainya.

Repotnya lagi, tidak semua warga terkadang sejalan dengan ketua RT. Ada yang memilih menjadi pihak oposisi. Maunya dianggap sebagai 'hero' yang menyuarakan hal yang dinilainya kurang.

Seorang teman yang menjadi pengurus RT di perumahannya pernah bercerita, di tempatnya ada warga yang hobinya teriak-teriak. Sukanya protes di grup WA warga. Bahkan memanasi warga lainnya. Persis seperti kompor meledug.

Orang itu senangnya menyoroti hal-hal yang ada di perumahannya. Utamanya kebijakan pengurus RT.

Kata teman saya, lha wong pernah, iuran untuk takjil berbuka puasa di masjid yang per orang hanya Rp 25 ribu saja dipermasalahkan. Alasannya karena pandemi sehingga banyak warga tak mampu. Padahal, takjil itu untuk warga dan anak-anak di perumahan mereka sendiri ketika ada yang sholat maghrib di masjid.

Padahal, dia orang berada. Orang kaya. Tapi duit 25 ribu saja malah dibesar-besarkan. Repotnya lagi, dia jadi 'kompor' di grup WA warga. Memengaruhi orang lain agar setuju dengan pendapatnya. Ibaratnya sudah menjadi toksik.

"Dia kerapkali protes kebijakan RT di Grup WA ataupun saat rapat. Menganggap pengurus RT tidak becus bekerja. Tapi ketika pemilihan RT tidak mau datang. Tidak mau jadi ketua RT," ujar teman saya.

Tipikal orang begini memang repot. Maunya apapun diprotes. Apapun yang dilakukan ketua RT dan pengurusnya dianggapnya tidak benar. Tapi, dia tidak mau ditunjuk jadi ketua RT. Karenanya, teman saya, seorang jurnalis yang bicaranya ceplas-ceplos itu kadang mengaku gregetan.

Tapi memang, begitulah yang jamak terjadi. Namanya orang memang beda-beda. Ada yang asyik. Ada yang unik.

Meski, sebenarnya tidak sulit menjadi orang yang waras di lingkungan tempat tinggal kita.

Bahwa, ketika kita enggan menjadi pengurus RT, apa susahnya manut dan bersikap kooperatif selama memang kebijakan ketua RT-nya bagus. Apa susahnya menjadi orang yang legowo. Bukan jumawa.

Repot kalau tidak bersedia jadi pengurus RT, bahkan saat rapat pemilihan ketua RT tidak mau datang, tapi lantas bersikap seperti 'dewan pengawas' yang merasa paling benar dan selalu mengkritisi kebijakan bersama yang dibuat di lingkungan tempat tinggalnya.

Selamat berakhir pekan. Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun