Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Status Pandemi Jadi Endemi dan Mereka yang Enggan Divaksin

2 Oktober 2021   15:18 Diperbarui: 4 Oktober 2021   05:30 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika memang status pandemi berubah jadi endemi, sudah siapkah kita menjalaninya?| Foto: megapolitan.kompas.com


Jika memang kini status pandemi berubah jadi endemi, sudah siapkah kita menjalaninya?

Bagi kebanyakan orang yang tinggal di kampung, pertanyaan itu akan sulit dijawab. Ada dua alasan yang membuat pertanyaan tersebut bak misteri tak terungkap.

Pertama, tidak sedikit orang di kampung yang tidak paham bedanya istilah perihal penyebaran penyakit tersebut. Istilah pandemi susah dipahami. Kini datang lagi temannya, endemi.

Sekadar menginformasi agar tulisan ini bisa sedikit menginformasi, melansir dari laman website Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, pandemi adalah wabah penyakit yang terjadi serempak di mana-mana, meliputi daerah geografis yang luas (seluruh negara/benua). Dengan kata lain, penyakit ini sudah menjadi masalah bersama bagi seluruh warga dunia.

Sementara endemi adalah penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu. Penyakit ini akan selalu ada di daerah tersebut, tapi dengan frekuensi atau jumlah kasus yang rendah.

Ketika penyebaran Covid-19 tak kunjung berhenti, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan Covid-19 sebagai pandemi global. Pernyataan terbaru dari WHO, Covid-19 sebagai penyakit endemik. Oleh karena itu, penyakit ini akan terus ada dan tidak sepenuhnya hilang.

Alasan kedua pertanyaan di awal kalimat ini susah dijawab oleh kebanyakan mereka yang tinggal di kampung, karena mereka menganggap pandemi ataupun endemi tidak ada bedanya.

Malah, ketika tren kasus Covid-19 semakin turun, ada sejumlah orang yang merasa situasi sudah baik-baik saja.

Akhirnya mulai lalai memakai masker ketika berkumpul dengan orang lain. Saya pernah mengalami, ketika memakai masker di sebuah acara di kampung, malah seperti 'orang aneh' karena banyak yang tidak memakainya.

Persis seperti salah satu cerita seri strip komik karya Muhammad "Mice" Misrad di akun Instagramnya perihal beda memakai masker di kampung dan di kota. Bahwa, mereka yang memakai masker di kampung, bakal dianggap aneh. Tapi, bila tidak memakai masker di kota, bakal dipelototi banyak orang yang memakai masker.

Kita sudah terbiasa menjalani endemi

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, jika memang kini status pandemi berubah jadi endemi, sudah siapkah kita menjalaninya?

Sebenarnya, sejak akhir tahun lalu, ketika tren kasus Covid-19 naik turun dan diprediksi tidak akan cepat selesai, kita sudah membiasakan hidup 'berdampingan' dengan situasi endemi.

Kita terbiasa bila pergi ke luar rumah memakai masker. Juga membawa bekal hand sanitizer.

Termasuk menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Hingga, ketika kembali, mencuci tangan dan kaki dengan sabun sebelum masuk ke rumah. Plus beragam upaya lainnya untuk menjaga tubuh tetap sehat.

Ketika vaksinasi Covid-19 digencarkan, itu bisa dibilang merupakan 'level berikutnya' untuk bersiap menjalani situasi endemi.

Bahwa, ketika sudah divaksin, bukan hanya diharapkan terbentuk kekebalan komunal, tetapi juga sebagai ikhtiar melindungi diri dan keluarga. Tentunya tetap berkawan dengan masker dan hand sanitizer.

Kebijakan pemerintah menjadikan 'sudah divaksin' sebagai syarat berpergian hingga masuk ke pusat perbelanjaan ataupun lingkungan kerja yang mengharuskan karyawannya divaksin, terbukti mampu mendorong banyak orang bersedia divaksin.

Toh, meski woro-woro vaksinasi begitu ramai di mana-mana, ternyata masih ada yang masih belum mau divaksin.

Saya tidak sedang mengobrol tentang mereka di luar sana yang kabarnya tidak percaya dengan Covid-19 dan vaksin. Itu urusannya mereka.

Tapi, ini tentang orang-orang yang berada di circle saya. Di sekitar saya. alias mereka yang cukup sering mengobrol via percakapan WA ataupun bertatap wajah langsung dengan saya, tapi masih enggan divaksin.

Alasan takut hingga tidak ke mana-mana

Akhir pekan kemarin, rumah saya kedatangan tamu. Saudaranya istri yang datang bersama suami dan kedua anaknya.

Setelah berbulan-bulan tidak bertemu karena tren kasus Covid-19 yang sempat meninggi, mereka kembali bertamu ke rumah. Tentu kami senang karena bisa bertemu lagi dalam kondisi sehat.

Beberapa hari sebelumnya, istri yang memang rajin mengobrol dengan kakaknya via WA, bercerita bila mereka mau mampir ke rumah. Termasuk bercerita bila saudaranya sudah divaksin bersama suaminya.

Ketika tiba di rumah, setelah ngobrol saling sapa, setelah anak-anak saling kangen-kangenan, kami mempersilakan untuk mencicipi hidangan yang sudah disiapkan. Makan dulu baru mengobrol.

Nah, saat mengobrol, sebagai pembuka obrolan, saya bertanya apakah di wilayah tempat tinggalnya 'sudah aman'. Karena sepengetahuan saya, sempat cukup banyak warga terpapar.

Lantas, ngobrol perihal bagaimana pengalamannya divaksin. Ternyata, dia berujar tidak ikut divaksin. Hanya istrinya saja yang divaksin. Saya terkejut. Namun, saya paham, itu urusan privasinya dia.

Saya lantas bercerita pengalaman saya menjalani vaksinasi bersama istri. Bahwa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan, termasuk tidak ada efek bawaan yang kami rasakan setelah vaksin.

Tentang sugesti pikiran yang merasa lebih tenang ketika ke luar rumah untuk bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Lebih tenang karena sudah divaksin, meski tetap menjalankan prokes.

Lalu juga bercerita perihal pengalaman beberapa tetangga yang ketika pergi ke luar kota untuk urusan keluarga ataupun pekerjaan, harus 'lulus syarat' sudah divaksin.

Intinya, melalui cerita-cerita itu, saya ingin memberitahu dia perihal pentingnya divaksin tanpa terkesan mengingatkan apalagi menggurui. Lha wong dia lebih tua dari saya.

Bahwa, bila dia divaksin, itu tidak hanya untuk dirinya. Tapi juga untuk menjaga kesehatan dua anaknya. Atau, bila dia mendapatkan tawaran pekerjaan di luar kota, tentunya sayang bila tidak bisa berangkat karena dirinya belum divaksin.

Tetapi memang, meski pemerintah gencar melakukan vaksinasi hingga ke balai desa di pelosok, masih ada yang enggan. Dari obrolan dengan beberapa orang, bermacam-macam alasannya. Dari malas, cemas, hingga merasa sehat-sehat saja meski tanpa divaksin.

Kalau alasannya malas antre demi mendapatkan vaksin, solusinya bisa dilakukan vaksinasi door to door. Petugas vaksinasi yang datang ke rumah warga yang belum divaksin.

Namun, untuk alasan cemas atau takut, ini yang agak sulit. Yang bisa dilakukan ya memberi pengertian bahwa selama kondisi mereka sehat, tak perlu takut divaksin. Meski, berhasil atau tidaknya, kembali ke orangnya. Apakah setelah mendapat pengertian menjadi berani divaksin atau tetap cemas.

Saya juga pernah mendengar jawaban dari tetangga yang sudah berpindah rumah yang enggan divaksin. Katanya, dia merasa sehat dan tidak perlu pergi ke luar kota alias tinggal di wilayah tempat tinggalnya saja. Karenanya, dia merasa tidak perlu mengikuti vaksin.

Itu obrolan dua bulan lalu. Mungkin sekarang beliaunya sudah divaksin karena kesibukan yang sudah berbeda. Apapun itu, semoga semuanya sehat-sehat.

Dan tentu saja, untuk menjadi sehat di masa pandemi yang berubah jadi endemi, butuh ikhtiar. Seperti maknanya di Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), ikhtiar adalah syarat untuk mencapai maksud. Bentuk daya upaya kita untuk sehat.

Seperti memakai masker, divaksin, rutin berolahraga, mengatur pola makan, dan menjaga pikiran agar tidak mudah stres, dan berbagi bahagia dengan orang lain juga bentuk upaya menjadi sehat. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun