Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Joki Es Batu", Profesi Saat Puasa yang Kini Tinggal Kenangan

13 April 2021   14:24 Diperbarui: 14 April 2021   04:03 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi es balok. Foto: ice-blocks.com via Grid.id

JOKI ES BATU.

Memang ada profesi seperti itu?

Ada. Lebih tepatnya pernah ada. Namanya pernah ada, sekarang sudah tidak ada lagi. Tinggal kenangan saja. Utamanya di tempat tinggal saya. Entah bila di daerah lain masih ada.

Ya, puluhan tahun silam, ketika bulan puasa Ramadan tiba, profesi 'joki es batu' ini memang pernah jadi primadona di tempat tinggal saya. Di sebuah kampung di Sidoarjo.

Kala itu, sekira akhir tahun 80-an. Saya masih kelas 3 SD. Namun, meski sudah tiga dekade silam, kenangan akan joki es batu itu tidak luntur sampai sekarang.

Profesi ini dijalankan oleh perempuan. Ibu-ibu. Ketika sore menjelang berbuka puasa, sembari membawa sepeda pancal dan tas kantong plastik besar berwarna merah, dia berkeliling ke rumah-rumah warga di wilayah RT saya.

Dia datangi rumah-rumah warga. Kepada ibu-ibu, dia menawarkan jasa membelikan es batu di kampung sebelah. Ada yang nitip dibelikan es batu 50 rupiah. Ada yang 100 rupiah. Ada yang lebih.

Namanya menawarkan jasa, tentu mendapat upah. Biasanya, ibu-ibu yang menitip dibelikan es batu itu memberi kelebihan duit. Meski jumlahnya tidak banyak.

Setelah menerima 'pesanan', si ibu joki es batu ini bakal langsung mengayuh sepedanya. Menantang jalanan menanjak jembatan layang (di atas jalan tol) yang sudah berdiri sejak tahun 80-an.

Maklum, tempat berjualan es batu memang ada di kampung sebelah. Karenanya, tidak semua orang mau membelinya sendiri. Mereka memilih memakai jasa ibu joki es batu tersebut.

Pikir mereka, lebih baik menitipkan duit, lantas menunggu di rumah. Sembari menyiapkan teh atau memotong janggelan/cincau yang dibeli di pasar.

Lantas, beberapa menit menjelang bedug Maghrib ditabuh di mushola dekat rumah, ibu itu datang membawa bongkahan es batu yang sudah dipesan. Lalu mengeluarkannya dari kantong plastik merah.

Dulu, saya termasuk yang pernah merasakan jasa si ibu joki es batu ini. Karena jasanya, saya bisa merasakan segarnya es teh ataupun es janggelan saat berbuka puasa.

Dulu, semasa bocah, saya juga pernah berkesempatan menengok langsung tempat berjualan es batu itu. Ketika diajak kakak sepupu untuk membeli es batu di kampung sebelah.

Sembari menaiki 'sepeda kebo', kami membelah jalanan ketika jelang berbuka puasa. Sungguh menyenangkan. Ingatan itu abadi. Bahkan ketika jalanan di sana kini sudah jauh berbeda. Penuh lubang di sana-sini.

Penjual es batu sedang menurunkan balok es batu. Dulu, di saat bulan Ramadan, pernah ada profesi joki es batu di kampung saya/Foto: www.atmago.com
Penjual es batu sedang menurunkan balok es batu. Dulu, di saat bulan Ramadan, pernah ada profesi joki es batu di kampung saya/Foto: www.atmago.com

Joki es batu kini tinggal kenangan

Kembali ke joki es batu, sebenarnya, zaman dulu, tidak ada nama itu. Ibu-ibu di RT saya hanya mengenal nama orangnya. Saya sendiri yang mendadak menemukan padanan kata itu ketika teringat dan hendak menuliskan cerita ini.

Di zaman itu, seingat saya, kedatangan ibu joki es batu ini ditunggu banyak orang. Sebab, es batu menjadi idaman untuk sajian menu minuman berbuka yang segar.

Sementara lemari es kala itu masih menjadi barang mewah. Sama halnya seperti televisi. Di wilayah satu RT, mungkin hanya dua atau tiga orang saja yang memiliki lemari es. Karenanya, bisa merasakan berbuka dengan yang segar itu rasanya luar biasa.

Di era sekarang, profesi seperti itu mungkin terbilang aneh. Lha wong kini setiap orang bisa dengan mudah membuat es batu sendiri sebagai campuran menu minuman berbuka puasa.

Andaipun kini masih ada joki es batu, peminatnya jelas tidak sebanyak dulu. Malah mungkin tidak laku. Bagi kita yang terbiasa serba praktis, pasti akan bergumam, "hanya untuk es batu, ngapain repot-repot". KIta tidak lagi merasa membutuhkan jasa joki es batu.

Tidak perlu mengomparasikan dengan era sekarang, dulu, di awal 90-an, profesi ini sudah mendapat pesaing serius.

Seingat saya, di jalan depan rumah, sudah ada penjual es batu keliling dengan sepeda dan tempat yang dimodifikasi seperti becak. Penjualnya seorang laki-laki.

Biasanya, dia membawa beberapa bongkahan balok es batu. Warga yang ingin membeli es batu, cukup menunggunya lewat. Lantas, membeli seperlunya. Bongkahan es batu itu lantas dipotong dengan pisau besar yang menurut saya kala itu unik. Jasa joki es batu pun mulai terlupakan.

Ah, Ramadan terkadang memang seperti pusaran waktu. Ia seperti bisa membawa kita ke masa lalu. Ketika Ramadan tiba, kita mendadak teringat kepingan-kepingan cerita di bulan puasa berpuluh-puluh tahun lalu.

Kita yang sudah menjadi orang tua, mendadak teringat serunya ngabuburit di zaman dulu. Bermain layangan, main bola dengan gawang batu, atau duduk-duduk di pematang sawah sembari menunggu bedug Maghrib. 

Lantas, malamnya tarawih di mushola, serunya tadarus dan tidur di mushola hingga membangunkan orang sahur. Itu belum bonus bermain petasan selepas Shubuh. Ah, semua kenangan itu tidak pernah hilang.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat sehingga bisa berpuasa dan menjalankan ibadah di bulan Ramadan dengan khusyu dan maksimal. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun