Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

MU, "Hadiah" Penalti, dan Jalan Pulang ke Liga Champions

27 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 27 Juli 2020   23:48 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain-pemain Manchester United merayakan kemenangan atas Leicester City di laga terakhir Liga Inggris musim 2019/20 (26/7). MU berhasil lolos ke Liga Champions setelah finish di peringkat 3/Foto: soireenews.com

Ada sebuah pepatah klasik yang berbunyi begini: 'semakin tinggi pohon, semakin lebat buahnya, dan semakin kencang angin menerpanya'.

Maknanya kira-kira, semakin kita bertumbuh dewasa, semakin banyak pelajaran dan pengalaman yang kita dapat, dan begitupun semakin banyak kita akan diuji.

Pepatah ini kiranya cocok untuk menggambarkan situasi yang tengah dialami klub top Inggris, Manchester United (MU) usai memastikan lolos ke Liga Champions musim 2020/21. MU akan kembali tampil di kompetisi elit Eropa yang pernah tiga kali mereka juarai. 

Nah, keberhasilan MU lolos ke Liga Champions setelah di musim 2019/20 ini hanya menjadi penonton, jadi kabar 'seksi' bagi media. Pencapaian MU itu jadi perbincangan. Bahkan 'digugat'. MU dituding mendapat 'bantuan' dari pihak-pihak yang menginginkan mereka tampil kembali ke Liga Champions.

Benarkah?

Jawabannya kembali pada bunyi pepatah tersebut. Bahwa sebagai klub besar, terkenal, dan kaya gelar, 'angin' akan semakin kencang menghantam mereka. Sebab, meski pecinta mereka banyak, tetapi pembenci mereka juga tidak sedikit.

Karenanya, apapun yang terjadi pada MU, itu akan menjadi kabar yang bisa 'digoreng'. Bayangkan, berhasil lolos ke Liga Champions saja masih disorot. Apalagi bila MU gagal lolos. Mereka mungkin akan mengalami perundungan selama tujuh hari tujuh malam.

Rekor jumlah penalti

Bicara tudingan MU diuntungkan agar bisa lolos ke Liga Champions didasarkan pada fakta bahwa tim asuhan Ole Gunnar Solskjaer ini menjadi tim yang paling sering mendapatkan penalti di Liga Inggris musim ini.

Total, MU mendapatkan 14 penalti di musim 2019/20 ini. Termasuk penalti yang menjadi gol pembuka kemenangan 2-0 atas Leicester yang memastikan mereka lolos ke Liga Champions, pada Minggu (26/7) malam.

Melansir dari ESPN, MU bahkan 'mengukir' rekor baru' untuk urusan tim yang mendapatkan penalti terbanyak dalam satu musim di Premier League. Tim peraih gelar terbanyak Liga Inggris ini melewati 'pencapaian' Leicester yang pernah mendapatkan 13 penalti saat jadi juara di musim 2015/16 serta Crystal Palace di musim 2004/05 silam.

"Manchester United break Premier League penalty record on final day," begitu judul artikel ESPN.

Memangnya, apa yang salah dengan tim mendapatkan penalti?

Toh, penalti itu memang aturan yang ada di sepak bola. Bahwa, bila terjadi pelanggaran di kotak penalti, ya tim yang pemainnya dilanggar tersebut diberi penalti. Sesederhana itu kan.

Seharusnya memang sesederhana itu. Namun, bila sudah dibumbui oleh bermacam-macam asumsi, penalti itu pun bisa dikonotasikan berbeda. Bukan lagi sederhana. Semisal adanya tudingan pemain yang melakukan diving, hingga keputusan wasit yang debatable.

Perihal banyaknya 'hadiah penalti' yang diberikan untuk MU di musim ini, obrolan di Sky Sports pada laga "final day" Premier League kemarin, menarik untuk disimak.

Acara itu melibatkan beberapa mantan pemain yang kini menjadi analis sepak bola. Ada mantan kapten tim MU, Roy Keane, lalu eks bek kanan MU, Gary Neville dan juga mantan full back Manchester City, Micah Richards.

Micah Richards yang berada di studio, menyebut jumlah 14 penalti untuk MU dalam semusim itu dengan kata "ridiculous". Konyol.

Sementara Gary Neville yang tengah bertugas di lapangan, menjawab diplomatis. Lebih tepatnya membela MU. Menurutnya, ada tudingan bahwa tim besar seperti MU sering diuntungkan oleh 'pemberian' penalti dari wasit.

Namun, dia mengatakan, MU mendapatkan banyak penalti karena memainkan sepak bola menyerang dengan pemain-pemain mereka sering masuk ke kotak penalti lawan dan dilanggar. "Simple as that," ujarnya.

Gary juga tidak menampik bila dari 14 penalti yang didapat MU, tidak semuanya 'clear'. Ada penalti yang keputusannya 'sumir'. Seperti ketika MU melawan Aston Villa. Namun, untuk penalti saat melawan Leicester yang menentukan itu, dia menyebutnya jelas penalti.

Terlepas dari perdebatan itu, toh MU tidak serta merta diuntungkan karena penalti. Sebab, apalah artinya hadiah penalti tanpa eksekutor yang handal. Dalam hal ini, MU beruntung memiliki pemain yang bisa mengeksekusi penalti dengan baik seperti Bruno Fernandes.

Sebelumnya, di empat laga awal liga, MU mendapatkan tiga penalti. Tapi, Paul Pogba dan Marcus Rashford pernah gagal saat melawan Wolves dan Palace. Malah, Rashford dan Anthony Martial pernah gagal bersamaan saat menang 3-1 atas Norwich pada Oktober lalu.

Baru setelah Bruno Fernandes bergabung pada Januari, MU bisa memaksimalkan penalti. Pemain asal Portugal yang diplot sebagai "pemain bernomor 10" di belakang striker ini mencetak empat dari lima penalti seperti dikutip dari https://www.espn.com/soccer/manchester-united/story/4147645/manchester-united-break-premier-league-penalty-record-on-final-day.

Lolos ke Liga Champions bukan hanya karena penalti
Tapi yang jelas, penalti itu hanyalah bagian dari sedikit dinamika yang membawa MU lolos ke Liga Champions. Selebihnya, bagian paling dominan adalah perjuangan mereka sendiri.

Bahwa, penampilan MU di musim ini memang sempat seperti wahana roller coaster yang naik turun. Sempat luar biasa di pekan perdana dengan mengalahkan Chelsea 4-0, tetapi mereka kemudian terpuruk.

Di bulan Oktober, MU bahkan sempat berada di peringkat 12. Kala itu, mereka hanya terpaut beberapa poin dari tim penghuni degradasi (peringkat 18-20). Saya pernah menuliskan itu di tulisan ini: https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/5d9d6e12097f36672a2c1fe2/pelajaran-dari-kejatuhan-man-united-dari-puncak-kini-mengetuk-pintu-degradasi.

Memasuki Januari 2020, MU bahkan mengalami empat kekalahan. Kala itu, Solskjaer bahkan diisukan bakal dipecat. Namun, manajemen MU rupanya masih punya cinta bagi mantan penyerang yang semasa berkostum MU dijuluki "pembunuh berwajah bayi" ini.

MU lantas berbenah di masa transfer tengah musim. Mereka membuat keputusan berani dengan melego beberapa pemain berpengalaman seperti Romelu Lukaku, Ander Herrera, Alexis Sanchez, dan Ashley Young.

Siapa sangka, keluarnya 'pemain-pemain tua' itu membuat MU menjadi lebih segar. Pemain-pemain muda seperti Brandon Williams (19 tahun), Timothy Fosu-Mensah (22 tahun), Axel Tuanzebe (22 tahun), Angel Gomes (19 tahun), dan Tahith Chong (20 tahun) mulai mendapatkan kesempatan bermain.

Namun, yang paling sensasional adalah penampilan Mason Greenwood (18 tahun). Utamanya setelah posisinya diubah Solskjaer ke penyerang sayap kanan dalam skema 4-2-3-1. Greenwood mencetak 10 gol di musim ini. Dia hanya kalah dari Martial dan Rashford yang sama-sama mencetak 17 gol.

Ah ya, skema 4-2-3-1 itulah yang kemudian menjadi titik balik penampilan MU usai jeda pandemi. Terlebih, Solskjaer yang sebelumnya sering galau dalam memilih 11 pemain starter, sudah menemukan starting XI idamannya. Saya pernah menulis cerita tentang ini di tulisan sebelumnya.

Dari mulai kiper De Gea, kemudian kwartet pertahanan Victor Lindelof, Harry Maguire, Aaron Wan-Bissaka, dan Luke Shaw. Solskjaer juga 'mengawinkan' Paul Pogba dan Nemanja Matic sebagai dua gelandang pelindung pertahanan. Sementara Rashford, Bruno, dan Greenwood menjadi pendukung Martial yang menjadi penyerang tunggal.

Skema dan starting XI Ole itulah yang pada akhirnya membawa MU ke Liga Champions. MU mengakhiri musim 2019/20 di peringkat 3. Jauh lebih baik dari capaian musim sebelumnya yang hanya finish di peringkat 6.

Dengan penampilan seperti itu, fan MU pastinya tidak sabar menunggu Liga Inggris musim 2020/21 bergulir pada 12 September mendatang. Setelah puasa gelar selama 7 tahun, mereka ingin melihat MU bisa kembali bersaing memburu gelar.

Namun, keliru besar bila MU cepat puas dengan tim yang sekarang. Justru, MU masih harus berbenah dan memperkuat tim untuk menyambut musim depan. Utamanya bersiap tampil di Liga Champions yang membuat mereka berpotensi bertemu tim-tim kuat Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, dan juga Bayern Munchen.

Pasalnya, meski tidak terkalahkan, tetapi beberapa sektor masih terlihat rapuh di beberapa laga. Seperti penampilan kiper David De Gea yang terkadang mengherankan. Termasuk penampilan duet bek tengah Maguire-Lindelof yang kadang masih mengkhawatirkan. Penampilan mereka belum sampai pada level memberikan ketenangan seperti duet Rio Ferdinand-Nemanja Vidic di masa lalu.

Apalagi, di Liga Inggris, tim-tim pesaing seperti Liverpool, Manchester City, Chelsea, Arsenal dan Tottenham, pastinya juga akan berbenah demi menyambut musim depan.

Toh, Solskjaer pastinya sudah punya catatan harus bagaimana untuk memperkuat timnya. Termasuk perihal pemain baru yang bisa diburu. Namun, untuk saat ini, tidak ada salahnya bila fan MU merayakan keberhasilan timnya lolos ke Liga Champions. 

MU akhirnya menemukan jalan untuk kembali pulang ke Liga Champions. Ya, rasanya tidak berlebihan bila menyebut Liga Champions adalah "rumah" bagi Tim Setan Merah bila merujuk pernah juara tiga kali dan lima kali masuk final. Itu pencapaian yang perlu dirayakan.

Bukankah sebuah kesuksesan memang layak dirayakan. Asal jangan berlebihan sehingga membuat terlena. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun