Namun, bila kita terlanjur mendahulukan emosi, maka yang terjadi ya marah-marah itu tadi. Kita seperti menutup mata dengan apa yang terjadi. Pokoknya marah-marah dulu.
Saya teringat dengan cerita satpam di kompleks perumahan saya. Beberapa waktu lalu, dia pernah dimarahi habis-habisan oleh seorang warga.
Penyebabnya, orang itu marah karena menganggap satpam telah menghilangkan barangnya yang dipesan secara daring. Dia menganggap barang yang ditaruh di pos satpam oleh si pengantar barang, saat akan diambil ternyata hilang.
Padahal, cerita sebenarnya tidak seperti itu. Mulanya, si pengantar barang itu sempat datang ke rumah orang tersebut. Karena tidak ada orang, lantas berniat menaruh barang di pos satpam. Kebetulan, di pos juga sedang sepi karena satpamnya sedang keliling.
Petugas itu lantas menaruh barang di meja satpam, memfotonya, lalu mengirim foto itu ke warga tadi. Seolah-olah barang sudah ditaruh di pos satpam. Celakanya, si pengantar tidak sabar menunggu satpam kembali ke pos. Dia malah pergi membawa barang itu.
Tentu saja, si satpam yang tidak tahu apa-apa, jadi sasaran amarah karena warga mengira barangnya sudah di pos satpam. Masalah itu akhirnya selesai setelah si pengirim barang dipanggil untuk datang ke perumahan dan menjelaskan permasalahannya.
Tetapi memang, bila sejak awal sudah marah-marah, urusan yang sebenarnya "receh" pun menjadi tidak enak. Akan lain ceritanya bila sejak awal menanyakan baik-baik kejadiannya seperti apa.
Toh, masalah apapun, bila dibicarakan secara baik-baik, situasinya akan lebih lumer seperti mentega ditaruh di atas penggorengan. Daripada sekadar marah-marah. Salam.