Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Jojo, An Se Young, dan "Malam Ajaib" di Semifinal French Open 2019

27 Oktober 2019   10:43 Diperbarui: 27 Oktober 2019   15:53 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebrasi Jonatan Christie setelah meraih kemenangan 'mustahil' atas Viktor Axelsen di semifinal French Open 2019 tadi malam/Foto: badmintonindonesia.org

Apa yang paling menarik dalam sebuah pertandingan olahraga? Apakah sekadar berorientasi hasil. Bahwa kemenangan adalah segalanya. Atau malah yang seru itu tingkah polah tengil para pelakunya sehingga membuat pertandingan berjalan tidak membosankan.

Bagi saya, sudut pandang paling menarik dalam olahraga adalah terciptanya kejutan. Menurut saya, kejutan dalam olahraga adalah wujud keadilan. Bentuk nyata dari pesan mulia "man jadda wa jadda". Bahwa, siapa tekun bekerja dan berusaha, dia akan mendapatkan hasilnya.

Makna kejutan itu tidak terbatasi dalam konteks orang-orang yang diremehkan ternyata bisa meraih kemenangan dengan mengalahkan mereka yang diunggulkan. Namun, muaranya adalah semangat anti menyerah sebelum bertanding. Menang membanggakan. Dan bila kalah pun tidak memalukan.

Nah, kejutan-kejutan ajaib yang membuat pertandingan tidak membosankan itulah yang terjadi di semifinal turnamen bulutangkis BWF French Open 2019, Sabtu (26/10) petang hingga menjelang tengah malam. 

Penonton yang hadir di Stade Pierre De Coubertin di Kota Paris, seperti menjadi saksi terjadinya drama dan malam ajaib di lapangan bulutangkis.

An Se Young, bocah ajaib asal Korsel lolos ke final
Momen "ajaib" pertama terjadi di laga semifinal tunggal putri. Ketika bocah berusia 17 tahun asal Korea Selatan, An Se Young berhasil mengalahkan pemain top asal Jepang, Akane Yamaguchi. 

An Se Young yang kelahiran 5 Februari 2002, menang straight game 21-17, 23-21 atas Yamaguchi yang merupakan unggulan 2 di turnamen ini.

Kemenangan fenomenal itu membuat An Se Young menapak ke final. Ini final kelimanya di tahun 2019. Namun, French Open yang merupakan turnamen BWF Super 750, menjadi pencapaian terbesarnya.

Ya, ini fenomenal. Sebab, belum pernah ada sebelumnya, anak gadis yang masih berusia sweet seventeen tampil di final turnamen BWF Super 750. Terlebih di sektor tunggal putri, persaingannya sangat ketat. Bahkan lebih ketat dibandingkan tunggal putra.

Tapi memang, An Se Young ini anak muda tidak biasa. Badminton lovers menjulukinya anak ajaib dari Korea. Betapa tidak, baru dimainkan di level senior tahun ini, dia langsung "meledak". 

Di turnamen yang diikutinya, dia sangat jarang tersingkir di babak awal meski langsung bertemu pemain unggulan.

Justru, dia menjelma bak menjadi "pembunuh raksasa", sang giant killer. Nyatanya, Yamaguchi bukan korban pertama. Di perempat final, dia mengalahkan unggulan 8 asal India, Saina Nehwal. 

Pemain 29 tahun yang jelas jauh berpengalaman itu ia kalahkan 21-20, 23-21. Malah, di babak awal, An Se Young menang telak atas salah satu pemain top Thailand, Busanan Ongbamrungphan, 21-10, 21-12.

Di final, An Se Young akan menghadapi juara dunia 2018, Carolina Marin. Tadi malam, pemain asal Spanyol ini mengalahkan unggulan 1, Tai Tzu Ying 21-16, 21-9 yang sepertinya kelelahan usai jadi juara di Denmark Open, akhir pekan kemarin.

Pertemuan An Se Young melawan Marin di final nanti akan menjadi ulangan perempat final Denmark Open pekan lalu. Kala itu, An Se Young kalah rubber game dengan skor ketat. Dia menang 21-18 di game pertama. Tapi kalah 19-21, 18-21 di dua game berikutnya.

Tentu saja, Marin yang merupakan juara dunia tiga kali dan kini berambisi menaikkan peringkatnya usai menepi lama dari lapangan karena cedera panjang, tentu lebih diunggulkan untuk juara.

Namun, saya tidak akan terlalu terkejut bila ternyata An Se Young yang juara. Sebab, di usianya yang 17 tahun, dia sudah terbiasa mengatasi ketegangan di final. 

Nyatanya, tahun ini dia sudah juara tiga kali. Yakni di New Zealand Open Super 300, Canada Open Super 100, dan Akita Masters Super 100.

Memuji semangat tanding Jonatan Christie
Empat jam kemudian. Masih di lapangan sama. Pukul 3 sore waktu Prancis atau sekitar pukul 8 waktu Indonesia, momen ajaib kembali hadir. Kali ini pelakunya adalah tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie.

Jonatan memperlihatkan kepada semua penikmat bulutangkis bahwa tidak ada yang tidak mungkin di lapangan. Meski di atas kertas, dirinya sudah divonis tamat, tetapi semangat anti menyerah bisa mengubah hasil akhir.

Menghadapi pemain Denmark, Viktor Axelsen, Jonatan mengawali pertandingan dengan sangat buruk. Betapa tidak, dia kalah dengan skor mencolok, 7-21 dari juara dunia 2017 tersebut. Itu kekalahan buruk. Bahkan memalukan. 

Toh, Jojo--panggilan Jonatan tidak putus asa. Di game kedua, dia mampu menang dramatis dalam adu setting poin, 22-20 untuk memaksakan game ketiga.

Di game ketiga, Jonatan kembali memulai pertandingan dengan buruk. Dia nyaris selalu tertinggal dalam perolehan poin. Bahkan, dia lantas tertinggal 10-19 dari Axelsen. Artinya, lawan hanya butuh dua poin untuk menang. 

Namun, siapa sangka, keajaiban terjadi. Jojo mampu mengunci Axelsen di angka 19 itu.

Meraih satu demi satu poin, Jojo bisa mengejar poin Axelsen. Beberapa kali, kombinasi reli yang diakhiri pukulan drive shot maupun smash tajam ke tempat sulit dijangkau, membuat Axelsen jatuh bangun, bahkan tersungkur di lapangan.

Ketika skor 18-19, Axelsen mulai gugup. Hilang sudah keganasannya di awal game ketiga. Hingga, shuttlecock pengembalian menyangkut di net, membuat poin menjadi sama 19-19.

Jojo mendapatkan momentum menang. Yang terjadi kemudian, pukulan lob Jojo salah diantisipasi Axelsen. Dia menganggap shuttlecock keluar. 

Namun, ketika melihat shuttlecock akan masuk, Axelsen mendadak memukulnya. Jojo yang sudah menunggu di depan net, langsung menyambarnya. Match point untuk Jojo.

Lantas, lewat adu reli, setelah terjadi 14 kali adu pengembalian shuttlecock, di pukulan ke-15, shuttlecock pengembalian Axelsen menyangkut di net. Jojo pun langsung berteriak sembari rebahan di lapangan.

Sementara Axelsen seperti tak percaya, dirinya baru saja mengalami kekalahan menyesakkan. Ya, bagaimana mungkin, keunggulan 19-10 bisa dikejar menjadi 19-21. Namun, itulah pertandingan. 

Apapun bisa terjadi. Bahkan 'keajaiban' yang sulit dinalar pun bisa terjadi. Jojo, yang selama ini dianggap loyo dan cepat putus asa ketika tertinggal jauh, kini sudah berubah.

Dikutip dari situs Badminton indonesia, Jojo menyebut kemenangannya tidak lepas dari semangat kuat dan tidak cepat putus asa. Serta, berdoa. Ya, doa itulah yang membuatnya tampil kalem dan tenang saat poin kritis. 

"Yang saya lakukan tadi hanya berdoa dan tidak putus asa. Pada posisi 10-19 saya tahu Viktor kram. Jadi saya mencoba main lebih sabar, main reli dan tidak langsung menyerang lawan. Di game pertama tadi saya banyak melakukan kesalahan. Dan di game kedua saya mencoba bermain lebih baik dari game pertama," jelas Jonatan dikutip dari Badminton indonesia.

Di babak final, Jonatan akan berhadapan dengan Chen Long (Tiongkok). Kemarin, peraih medali emas Olimpiade 2016 ini mengalahkan Anthony Sinisuka Ginting. Melawan Chen Long, Jojo tentu kembali berharap merasakan momen ajaib di final. 

Pasalnya, Jonatan tercatat belum pernah merebut satu kemenangan pun dari tujuh kali pertemuan melawan Chen Long. Terakhir di Malaysia Open 2019, Jonatan kalah 21-12, 10-21, 15-21.

"Head to head saya 0-7 dengan Chen Long. Tahun lalu (French Open 2018) saya kalah di perempat final. Saya hanya ingin berusaha melakukan yang terbaik saja buat besok," sambung Jonatan.

Ganda putra India ke final, hadapi Marcus/Kevin
Rangkaian laga semifinal French Open 2019 tadi malam juga menjadi "momen ajaib" bagi ganda putra muda India, Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Setty. 

Pasangan India ini berhasil ke final setelah mengalahkan juara Asia 2019 asal Jepang, Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe 21-11, 25-23 dalam waktu 50 menit.

Ganda India ini membuktikan bahwa kemenangan mereka atas juara dunia 2019 asal Indonesia, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di putaran kedua, bukanlah kebetulan. Bukan hanya karena Hendra/Ahsan kelelahan.

Termasuk juga kemenangan atas ganda putra terbaik Belanda, Jelle Maas/Robin Tabeling di putaran pertama. Serta kemenangan atas ganda top Denmark, Kim Astrup/Anders Rasmussen di perempat final.

Rankireddy yang baru berusia 19 tahun dan Shetty yang berusia 22 tahun, memang punya kualitas untuk bersaing di papan atas ganda putra dunia.

Kita masih ingat, awal Agustus lalu, Rankireddy/Shetty menjuarai Thailand Open Super 500 dengan mengalahkan ganda terbaik Tiongkok yang juara dunia 2018, Li Junhui/Liu Yuchen di final.

Tentang kualitas ganda putra India ini, saya pernah mengulasnya dalam tulisan di 'rumah ini'. Bahwa, PBSI kini harus mewaspadai ganda putra India yang kini dilatih pelatih asal Indonesia, Flandy Limpele yang merupakan mantan pemain spesialis ganda di Pelatnas. Ini tulisannya.

Nah, menariknya, di final nanti, Satwiksairaj/Shetty akan menghadapi ganda putra andalan Indonesia, Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Di semifinal kemarin, Marcus/Kevin menang atas ganda Taiwan, Liao Min Chun/Si Ching Cheng 21-18, 23-21.

Sejauh ini, Marcus/Kevin unggul dalam pertemuan melawan ganda India tersebut. Namun, ini merupakan pertemuan pertama di final. Tentu saja, aura pertandingannya akan berbeda.

Praveen/Melati ke final beruntun
Di final nanti, Indonesia memiliki tiga wakil. Selain Marcus/Kevin dan Jonatan, ganda campuran Praveen Jordan dan Melati Daeva Oktavianti yang tengah on fire, juga lolos ke final.

Praveen/Melati lolos ke final setelah mengalahkan ganda pasangan suami istri asal Inggris, Chris Adcock/Gabby Adcock, 21-19, 21-12.

Dalam pertandingan yang memakan waktu 35 menit tersebut, Praveen dan Melati sempat tertinggal 15-19 di game pertama, tapi mereka bisa mengejar dan berbalik unggul. Dia game kedua, mereka tampil mendominasi.

Praveen/Melati yang akhir pekan lalu jadi juara di Denmark Open, kembali tampil di final. Ini tentu pencapaian menggembirakan bagi pecinta bulutangkis Indonesia yang lama menunggu kabar bagus dari sektor ganda campuran pasca pensiunnya Liliyana Natsir di awal tahun ini.

Praveen dan Melati kembali ke final. Sektor ganda campuran mulai menggembirakan/Foto: badmintonindonesia.org
Praveen dan Melati kembali ke final. Sektor ganda campuran mulai menggembirakan/Foto: badmintonindonesia.org

Di final, Praveen dan Melati lagi-lagi akan kembali bertemu unggulan 1 asal Tiongkok, Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Ini merupakan pertemuan kedelapan mereka.

Sebelumnya, Praveen/Melati kalah beruntun dalam enam pertemuan. Namun, pada pertemuan ketujuh di putaran kedua Denmark Open pekan lalu, mereka bisa mengalahkan juara dunia 2018 dan 2019 tersebut. Bagaimana nanti?

Selama Praveen dan Melati bermain sabar dan mengurangi error sendiri, Praveen yang mengandalkan smash menggelegar dan Melati yang pandai bermain di depan net, punya peluang menang. 

Toh, mereka sudah paham cara mengalahkan Siwei/Yaqiong yang selama ini bak monster yang sulit dikalahkan.

Ah, semoga tiga wakil Indonesia bisa tampil maksimal di final dan membawa pulang gelar. Terlepas dari itu, saya menunggu momen-momen ajaib di final nanti. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun