Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ah, Istanbul Memang Mencintai Liverpool!

15 Agustus 2019   08:25 Diperbarui: 15 Agustus 2019   12:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kota Istanbul di Turki sepertinya memang ditakdirkan sebagai 'rumah kedua' bagi tim sepak bola asal Inggris, Liverpool. Rumah yang amat menyenangkan. Rumah yang memberikan keberuntungan bagi mereka.

Betapa tidak, dua kali tampil di laga perebutan trofi bergengsi sepak bola Eropa di Istanbul, Liverpool selalu menjadi tim yang tersenyum di akhir cerita. Dewi keberuntungan seperti memeluk erat mereka. Faktanya, Si Merah--julukan Liverpool--berhasil memenangi dua trofi di sana lewat cara yang hampir sama: adu penalti.

Cerita cinta pertama Liverpool dan Istanbul terjadi pada 25 Mei 2005 silam. Judul besarnya, "Malam Ajaib Final Liga Champions di Istanbul". Kala itu, Liverpool menghadapi tim kuat Italia, AC Milan, di laga final Liga Champions 2005.

Disebut ajaib karena Liverpool meraih trofi kelima Liga Champions mereka lewat cara "sangat romantis". Melawan AC Milan yang tengah ganas dengan 'peluru' bernama Andriy Shevchenko, Kaka, dan Hernan Crespo, gawang Liverpool sudah jebol tiga kali di babak pertama. Di laga final yang ketat, rasanya sulit membalas tiga gol hanya dalam satu babak.

Yang terjadi, di babak kedua, Liverpool ternyata bisa menyamakan skor 3-3 dalam waktu tak sampai delapan menit. Lantas, mereka memenangi final lewat adu penalti 3-2 berkat penampilan heroik kiper Jerzy Dudek. Istanbul kala itu memang menjadi "malam ajaib" bagi Liverpool.

Cerita cinta kedua antara Liverpool dan Istanbul terjadi 14 tahun kemudian. Ya, Kamis (15/8) dini hari tadi, Liverpool kembali merasakan betapa Istanbul memang sangat mencintai mereka. Kali ini, Liverpool menghadapi Chelsea di laga bertajuk UEFA Super Cup 2019 yang mempertemukan juara Liga Champions melawan juara Liga Europa.

UEFA Super Cup 2019, deja vu Istanbul 2005 dengan sedikit 'modifikasi'

Dan yang terjadi, cerita Istanbul 2005 silam bak kembali berulang dini hari tadi lewat sedikit 'twist'. Sebuah kisah deja vu dengan sedikit modifikasi.

Ya, sama seperti 14 tahun lalu, Liverpool kali ini juga kembali tertinggal di babak pertama. Chelsea yang awalnya tak diunggulkan imbas kekalahan 0-4 dari Manchester United di Liga Inggris akhir pekan kemarin, ternyata tampil mengejutkan. Gawang Liverpool jebol duluan di menit ke-36 lewat sepakan penyerang asal Prancis, Olivier Giroud, usai meneruskan umpan bintang baru Chelsea, Christian Pulisic.

Bak seperti lakon di film yang "kalah duluan tapi menang terakhir", Liverpool mengalaminya di babak kedua hingga akhir laga. Diawali pergantian pemain, Roberto Firmino dimasukkan menggantikan Alex Oxlade Chamberlain. Masuknya Firmino membuat Sadio Mane yang awalnya menjadi penyerang tengah, kembali ke posisi favoritnya sebagai penyerang sayap.

Pergantian itu rupanya memunculkan hasil cepat layaknya mie instan yang direbus dan hanya butuh beberapa menit langsung siap saji. Di menit ke-48, Si Merah menyamakan skor 1-1 lewat gol Sadio Mane. Skor 1-1 bertahan hingga waktu normal 90 menit. Maka, laga pun berlanjut ke perpanjangan waktu. Persis seperti final Liga Champions 2005 silam.

Bedanya, bila pada 2005 lalu, perpanjangan waktu bak sekadar menunggu adu penalti karena tidak ada gol tercipta, kali ini benar-benar menjadi 'panggung drama'. Di menit ke-95, Mane kembali membuat Liverpool unggul.

Sebuah gol berkelas yang memperlihatkan betapa pemain Senegal ini punya 'ikatan batin' dengan rekannya, Roberto Firmino. Diawali Mane membawa bola lantas memberikan ke Firmino. Setelah menahan bola sekian detik, penyerang asal Brasil itu seolah sudah hafal kapan bola akan kembali diberikannya kepada Mane yang berlari mendekat ke gawang. Dan dengan sepakan keras Mane, bola menghujam ke gawang Chelsea, 2-1.

Namun, cerita tidak berhenti di situ. Di menit ke-101, Chelsea justru mendapatkan penalti. Kiper Liverpool, Adrian dianggap menjatuhkan penyerang muda Chelsea, Tammy Abraham. Wasit perempuan asal Prancis, Stephanie Frappart yang memimpin laga, lantas menunjuk titik putih tanpa perlu melihat Video Assistant Referee (VAR). Jorginho yang menjadi eksekutor, berhasil mengecoh Adrian, 2-2.

Sampai di sini, Adrian bisa menjadi 'pesakitan' bagi LIverpool. Kiper yang 'terpaksa' dimainkan setelah sang kiper utama Liverpool, Alisson Becker cedera ini layak dipersalahkan karena keputusannya menabrak Abraham. Meski, tayangan ulang menunjukkan dia sejatinya ingin menangkap bola tapi mendadak Abraham datang dan terjadilah benturan hingga ia terjatuh.

Namun, kiper asal Spanyol ini mampu mengubah cerita ketika laga diakhiri adu penalti. Adrian beradu piawai membaca tendangan penalti dengan Kepa Arrizabalaga yang juga asal Spanyol.

Liverpool yang mendapat jatah menendang lebih dulu, mampu memberikan tekanan kepada Chelsea. Lima penendang Liverpool, Firmino, Fabinho, Divock Origi, Trent Arnold dan Mo Salah, semuanya berhasil menjebol gawang Kepa.

Meski, sepakan Origi dan Arnold ke pojok kanan gawang, sebenarnya sudah bisa dibaca oleh Kepa. Tapi, tangkapan kiper termahal di Liga Inggris ini kurang lengket sehingga bola tetap melaju ke dalam gawang.

Sementara empat penendang Chelsea, Jorginho, Ross Barkley, Mount, dan Emerson, sebenarnya juga mampu mengecoh Adrian. Namun, tidak dengan penendang kelima. Dan itu adalah Abraham.

Kali ini, Adrian mampu membalas perlakuan Abraham yang sebelumnya menyebakan penalti penyama kedudukan 2-2. Bola sepakan penyerang Inggris berusia 21 tahun ke arah tengah, bisa diblok Adrian dengan kakinya.  Liverpool pun memenangi adu penalti 5-4. Dan Adrian jadi pahlawannya.

Ah, Istanbul memang mencintai Liverpool. Seperti cuitan mantan penyerang Liverpool, Dirk Kuyt di akun Twitternya @Kuyt yang berbunyi: "Liverpool European supercup champions! Istanbul is always a good idea".

Trofi Piala Super Eropa keempat, Liverpool samai pencapaian Real Madrid

Bagi Liverpool, ini merupakan trofi Super Cup Eropa keempat mereka. The Reds kini menyamai pencapaian Real Madrid. Mereka hanya kalah dari AC Milan dan Barcelona yang telah lima kali trofi ini.

Sementara bagi pelatih Liverpool, Juergen Klopp, setelah trofi Liga Champions 2019, ini merupakan trofi kedua yang ia persembahkan untuk klub yang dilatihnya sejak Oktober 2015 silam. Bahkan, merujuk pada liverpoolfc.com, Klopp merupakan pelatih Jerman pertama yang berhasil memenangi trofi Piala Super Eropa.

Bagaimana reaksi Klopp?

"Saya tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Raihan ini juga bukan tentang saya yang menang. Ini tentang Liverpool. Kami memenanginya untuk semua orang yang mendukung kami. Dari empat kesempatan dalam tiga bulan terakhir, kami memenangi dua. Itu bagus," ujar Klopp dikutip dari liverpoolfc.com.

Adapun Sadio Mane yang terpilih sebagai Man of The Match alias Pemain Terbaik, menjadi pemain pertama asal Senegal yang mencetak gol di Piala Super Eropa. Dikutip dari UEFA.com, dia juga masuk dalam jajaran pemain top yang mencetak dua gol di Piala Super Eropa seperti Mrio Jardel (2000), Djibril Ciss (2005), Radamel Falcao (2012 -- hat-trick), Cristiano Ronaldo (2014), Lionel Messi (2015) dan Diego Costa (2018).

Tetapi memang, cerita tentang tim yang menang itu selalu menyenangkan. Beda cerita dengan tim yang menangis di akhir pertandingan. Ya, bila Liverpool merasakan pelukan cinta Istanbul, Chelsea lagi-lagi merasakan pahitnya kekalahan di Piala Super Eropa.

Tahun 2013 silam, Chelsea juga kalah di laga UEFA Super Cup. Mereka dikalahkan Bayern Munchen. Dan, sebuah kebetulan, Chelsea juga kalah adu penalti 4-5 setelah sebelumnya bermain imbang 2-2.

Sementara bagi sang pelatih Chelsea, Frank Lampard, ini merupakan kekalahan ketiganya di Piala Super Eropa. Sebelumnya, semasa menjadi pemain, Lampard yang menjadi kapten Chelsea, kalah di UEFA Super Cup edisi 2012 dan 2013.

Toh, melihat penampilan Chelsea di Istanbul semalam, pendukung Chelsea sejatinya tidak perlu khawatir dengan timnya meski telah mengalami dua kekalahan beruntun sejak dilatih Lampard. Ya, melihat performa Chelsea dini hari tadi, The Blues rasanya akan baik-baik saja di musim ini.

Chelsea terlihat solid dengan strategi menyerang 4-3-3. Sangat berbeda dengan formasi 4-2-3-1 yang dipakai saat melawan Manchester United.
Trio Jorginho, Mateo Kovacic dan N'glo Kante menjadi pengendali lini tengah.

Khusus Kante, dia sebelumnya tidak bermain ketika Chelsea kalah telak 0-4 dari United di pekan perdana Liga Inggris. Sementara di depan, trio Pedro, Pulisic dan Giroud, terbukti mampu membuat pertahanan Liverpool kewalahan. Bukan tidak mungkin, 'trisula lini depan' ini akan menjadi andalan Lampard di musim ini.

Fans Chelsea pastinya tidak sabar untuk melihat timnya kembali tampil menyerang saat menjamu Leicester pada pekan kedua Liga Inggris akhir pekan ini. Tentu saja, Lampard kali ini harus bisa memberikan kemenangan bila ingin tekanan terhadap dirinya mengendur.

Pada akhirnya, selamat untuk Liverpool yang kembali merasakan pelukan cinta Istanbul. Sementara bagi pendukung Chelsea, jangan bersedih karena bersama Lampard, The Blues sepertinya akan baik-baik saja. Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun