Saya meyakini, orang rajin dan orang malas pada akhirnya akan mendapat hasil berbeda. Mungkin mereka yang malas berpikir tidak ada gunanya bekerja keras jika ternyata tidak ada perlakuan berbeda bagi yang rajin dan yang asal bekerja.
Namun, saya percaya, motivasi melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh adalah awal pembuka kesuksesan. Minimal, kita akan dikenal sebagai orang yang "mau bekerja".
Aktor Hollywood, Christoph Waltz membuktikan, kesungguhan dalam bekerja telah berdampak besar dalam kariernya. Siapa sangka, Waltz yang selama 30 tahun mengabdi di dunia seni peran tetapi namanya nyaris tak terdengar di Hollywood, mendadak naik ke panggung elit Academy Award. Dia meraih Piala Oscar di tahun 2010 untuk kategori pemeran pendukung terbaik.
Waltz, actor kelahiran 4 Oktober 1965 yang dibesarkan oleh orang tua yang bekerja di lingkungan teater di Vienna, Austria, terbilang telat masuk Hollywood. Karier Waltz di "istana seni peran" ini baru dimulai di usia 53 tahun ketika dirinya bertemu sutradara dan penulis skenario, Quentin Tarantino.
Sebelumnya, mengikuti jejak orang tua, ia melakoni akting sebagai penghidupan dan panggilan hati. Selama 30 tahun, seperti tak kenal lelah, Waltz berperan dari satu serial ke serial lainnya di televisi Jerman.Â
Begitu menjejak Hollywood, Waltz langsung menyita perhatian. Peran Waltz sebagai Hans Landa dalam film Inglouriuos Basterds (2009) arahan Tarantino, mengantarnya menerima Piala Oscar pertama pada 2010. Saya pun yang waktu itu menonton film ini, belum tahu Waltz---sekadar tahu Brad Pitt dan Michael Fassbender sebagai pemeran utama, tapi langsung terpukau dengan kemampuan aktingnya.
Piala Oscar tersebut bak kado kesetiaan panjang Waltz dalam berkarya. Kesetiaan berkarya di televisi dalam jangka waktu lama, ternyata menjadi branding dirinya. Meski, ia mungkin tidak berharap muluk-muluk, sekadar cinta menekuni profesinya.
Dan pada 2012, kemampuan akting Waltz semakin diakui. Dia kembali meraih Oscar dalam kolaborasi keduanya dengan Tarantino di film Django Unchained. Waltz bahkan mengalahkan nama-nama top Hollywood seperti Robert de Niro (film Silver Lining Playbook), Alan Arkin (Argo), Philip Seymour Hoffman (The Master) dan Tommy Lee Jones (Lincoln). Tokoh-toko itu sejatinya inspirasi Waltz dalam bekerja akting. Dia merasa posisinya sekarang karena belajar dari mereka.
"Robert De Niro dan Alan Arkin adalah figur yang jadi model buat saya ketika mulai melakoni profesi ini. Saya sampaikan terima kasih kepada mereka," ujar Waltz.
Sukses Waltz tidak diraih dengan mudah. Dia harus melalui proses melelahkan. Tarantino menemukannya usai melewati proses pencarian (audisi) panjang. Kepada The New York Times, Tarantino pernah menggambarkan mengapa dirinya memilih Waltz. Dia menyebut menciptakan karakter seperti menulis puisi. Baginya, tak cukup seorang aktor sekadar kompeten berakting. "Ia harus memahami puisiku," ujarnya.
Dan Waltz dipercaya Tarantiono membawakan puisi bernama Hans Landa yang menghadirkan sosok jahat, dingin dan absurd di film Inglourious Basterds. Dan, di film Django Unchained (2012), Tarantino tidak lagi melakukan audisi. Dia khusus menuliskan 'puisi' bernama Dr Schultz hanya untuk Waltz. Piala Oscar membuktikan karakter dalam puisi itu terbukti kuat.
Lalu, apa kaitannya antara cerita Christoph Waltz dengan Kompasiana?
Begini. Dalam tingkatan yang berbeda jauh tetapi alur ceritanya rada mirip (mungkin juga dimirip-miripkan), saya memberanikan diri untuk menyamakan pengalaman di Kompasiana bak kisah sukses Waltz di panggung Hollywood. Bukan untuk pamer. Sekadar berbagi cerita.
Akhir pekan kemarin, saya diundang menjadi narasumber acara workshop bertajuk "Journalism and Content Creator" yang digelar fakultas ilmu sosial dan ilmu hukum salah satu universitas negeri di Surabaya.
Dalam 'baliho' pengumuman acara itu yang beredar di media sosial, tertulis nama saya dengan 'gelar' sebagai blogger dan content creator. Hmm saya merasa sedikit 'risih'. Lha wong saya ini bukan full time blogger. Cukup nge-blog di Kompasiana saja. Sekadar cinta menulis.
Singkat cerita, jadilah saya berbagi ilmu dan pengalaman menulis kepada adik-adik mahasiswa. Serta berdiskusi banyak hal tentang menulis. Tak lupa, mengenalkan Kompasiana kepada mereka yang ternyata sudah banyak yang tahu.
Kebetulan, di akhir acara, pihak panitianya mengharuskan peserta workshop untuk menulis. Saya lantas menyarankan mereka untuk menulis di Kompasiana dengan segala kelebihannya. Semisal tulisan bisa langsung tayang tanpa harus dimoderasi editor lebih dulu--kecuali bila tulisannya 'tidak layak' muat. Tentunya saya tak perlu menyebut 'sisi gelap'nya semisal untuk login yang terkadang butuh kesabaran.
Mundur ke belakang, pada awal September lalu, saya diundang Dinas Komunikasi dan Informatika Pemkot Surabaya untuk menjadi narasumber pelatihan menulis dan membuat blog bagi KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) se-Surabaya.Â
KIM ini merupakan elemen masyarakat (mayritas bapak/ibu) yang setiap hari rajin menulis, menginformasikan kegiatan dan potensi di kecamatannya masing-masing. Meski tidak punya dasar ilmu menulis, tetapi semangat mereka untuk berbagai informasi lewat tulisan, sangat luar biasa.
Dan, bulan ini, saya juga dipercaya menjadi juri lomba blog competition bertema "Jelajah Cagar Budaya Surabaya" yang diselenggarakan Bagian Humas Pemkot Surabaya. Kali ini, saya diberi 'gelar' sebagai blogger dan freelance writer. (* ah ya, lomba menulisnya masih berlangsung hingga 10 November mendatang, monggo bila ingin berpartisipasi.
Lagi-lagi saya merasa tersanjung. Lha wong saya ini bukan full time blogger ataupun penulis top. Orang sekadar mengenal saya sebagai mantan jurnalis yang nge-blog di Kompasiana. Plus jadi penulis lepas yang kebetulan pernah punya karya tiga buku.
Dari kesempatan 'tampil' yang datang berbarengan itu, saya seolah sedang menjalani alur hidup seperti Waltz. Bila Waltz dikenal lewat penampilannya di serial televisi, saya merasakan betapa Kompasiana telah ikut membentuk branding diri saya sehingga kemudian mendapatkan kesempatan "tampil".
Dulu, di awal bergabung di Kompasiana di penghujung tahun 2010, saya sekadar berniat menulis untuk senang-senang. Sebab, kala itu, setiap hari saya sudah 'menulis serius' di pabrik koran tempat saya bekerja. Saya menganggap Kompasiana sebagai "jeda" di luar pekerjaan menulis.
Jeleknya, karena sekadar senang-senang, jadinya belum merasa ada keterikatan emosional. Posting tulisan bila ada waktu senggang. Singkat kata, belum merasa kangen bila tidak menulis di Kompasiana. Bahkan pernah setahun lebih tidak menulis di Kompasiana. Karenanya, meski hampir 8 tahun bergabung, tulisan saya masih sedikit (masih 545 tulisan).
Tulisan itu serasa jauh bila dibandingkan dengan para panutan di Kompasiana yang sangat produktif menghasilkan tulisan. Seperti pak Tjiptadinata Effendy yang hingga 29 Oktober 2018 kemarin, sudah menghasilkan 3794 artikel sejak menulis di Kompasiana mulai 14 Oktober 2012.Â
Lalu ada Mas Susy Haryawan yang sudah menghasilkan 1957 tulisan sejak menulis di Kompasiana pada 2 Juni 2014. Kemudian ada Prof Pebrianov yang sudah menulis 1087 artikel sejak bergabung 16 Februari 2014. Serta pak Bambang Setyawan yang sudah menghasilkan 765 tulisan sejak bergabung pada 31 Oktober 2014.Â
Beliau-beliau ini panutan dalam ke-istiqomah-an menulis. Menulis sudah menjadi seperti minum air putih bagi mereka. Setiap hari dilakukan. Bahkan berkali-kali. Dan mungkin juga masih ada beberapa nama di Kompasiana yang sangat istiqomah dalam menulis dan terlupa untuk disebut dalam tulisan ini.Â
Nah, dalam perkembangannya, ketika memutuskan pensiun dini dari pabrik koran pada Maret 2013 silam karena pertimbangan keluarga, Kompasiana bukan lagi sekadar tempat bersenang-senang.Â
Saya menganggapnya sebagai 'rumah' untuk berbagi tulisan. Karenanya, ada tanggung jawab lebih menghasilkan tulisan yang 'benar' secara penulisan dan juga benar secara substansi tulisannya. Dan satu lagi, ada dorongan untuk menghasilkan tulisan setiap hari.
Ada beberapa tulisan yang saya tulis di Kompasiana, saya bagikan di media sosial. Sekadar membagikan kabar baik. Daripada laman media sosial dipenuhi cacian dan hujatan. Termasuk beberapa tulisan yang pernah terpilih sebagai pemenang blog competition. Itu sekadar menginformasi kepada kawan-kawan (yang beberapa kali saya ajak menulis di Kompasiana tetapi belum tergerak) bahwa menulis di Kompasiana juga bisa mendapatkan materi.Â
Harapannya, mereka tertarik ikut menulis. Karena merujuk pengalaman bekerja menulis dulu, masih ada beberapa kawan yang mengharapkan imbalan/pemberian materi dari narasumber.
Tanpa saya sadari, tulisan yang saya bagikan itu ternyata menjadi personal branding. Semisal karena cukup sering menulis sepak bola, beberapa kawan yang bekerja di media televisi lokal, sempat mengajak saya tampil di televisi sebagai komentator bola pada gelaran Piala Dunia 2014 dan 2018 kemarin. Termasuk juga sempat tampil di televisi nasional biro Surabaya saat mengulas wajah sepak bola Indonesia beberapa tahun lalu.
Menulis di Kompasiana, ternyata bisa menjadi branding diri yang memberikan nilai tambah kemampuan kita di mata orang lain yang mengetahui konsistensi kita dalam menulis. Menulis di Kompasiana ternyata membuat kita bisa dianggap memiliki kemampuan "sedikit berbeda" dengan orang lain yang berasal dari latar profesi/keahlian. Sebab, sedikit berbeda itu lebih baik dibanding sedikit lebih baik (bila profesi nya sama)
Bila sekadar mengandalkan atribut "pernah bekerja di pabrik koran", rasanya saya tidak akan dipercaya menjadi narasumber workshop di kampus dan di dinas pemerintahan, ataupun menjadi juri lomba blog. Â Lha wong ada banyak yang sama seperti saya ataupun yang masih aktif bekerja di pabrik koran dan mereka lebih hebat dari saya.
Tentunya, tidak sekadar menulis, merajut jejaring juga penting. Dan, Kompasiana menawarkan itu. Tak hanya kesempatan saling "berkunjung ke rumah" Kompasianer lewat berbalas komentar artikel yang ditulis, Kompasiana juga memungkinkan 'warganya' bertemu di dunia nyata lewat acara Kompasiana Visit, Kompasiana OnLoc ataupun Nangkring.Â
Jadilah saya bisa mengenal beberapa senior Kompasianr di Surabaya dan sekitarnya seperti Mbak Avy, Mbak Nurul, pak Mawan Sidarta, juga Mas Selamet Hariadi dan mas Arif Khunaifi.
Sangat mungkin, bukan saya saja yang telah merasakan peluang branding diri yang (tanpa sadar) didapat lewat Kompasiana. Bahkan, konon, ada beberapa kawan yang telah merasakan Kompasiana sebagai peluang branding diri dalam artian sebenanya. Yakni bisa bertemu jodoh karena menulis di Kompasiana.
Selamat genap 10 tahun Kompasiana. Seperti kalimat yang sering saya sampaikan ke kawan yang berulang tahun, "semoga senantiasa sehat, lapang rezeki dan berkah/ bermanfaat bagi banyak orang". Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H