Bagi pemain sekelas Jonatan yang levelnya sudah dunia, rasanya sudah tidak ada kata buru-buru ingin menang yang berakibat pada unforced errors, apalagi grogi ketika di poin-poin kritis. Seperti penuturannya, dia seharusnya tampil lebih garang sembari tetap fokus ketika di poin-poin kritis sehingga tidak lagi "kena tikung" lawan.
Ya, Jonatan kudu lebih garang. Terlebih, di Indonesia Open yang dimulai Selasa (3/7/2018) besok, jadwal membuatnya langsung berhadapan dengan lawan kelas berat, tunggal putra rangking 1 dunia asal Denmark, Viktor Axelsen.
 Tunggal putri wajib tingkatkan ketahanan
Sementara di tunggal putri, tiga wakil Indonesia di Malaysia Open 2018, Dinar Dyah Ayustine, Fitriani dan Gregoria Mariska Tunjung, semuanya out di putaran pertama.
Bila harus ada yang disalahkan, jadwal-lah biangnya. Betapa tidak, ketiganya sudah harus berjumpa para unggulan di round 1. Dinar bertemu pemain rangking 2 dunia asal Jepang, Akane Yamaguchi, Fitriani bertemu unggulan 8 asal Korsel, Sung Ji-hyun dan Gregoria Mariska bertemu peraih medali emas Olimpaide 2016 yang juga juara dunia 2014 dan 2015 asal Spanyol, Carolina Marin.
Bila seperti itu, berpikir realistis bukanlah sebuah dosa sembari berharap tercipta kejutan. Kabar bagusnya, meski kalah, Dinar, Fitri dan Jorji mampu memaksa pemain top dunia itu bermain rubber game. Minimal kekalahannya tidak dengan 'skor sadis'.
Dinar kalah 21-17, 12-21, 13-21, lalu Fitriani kalah 11-21, 24-22, 12-21 dan Gregoria kalah 4-21, 21-18, 8-21. Kita perlu mengapresiasi perjuangan mereka.
Namun, bangga bisa menyulitkan pemain to dunia menurut saya sejatinya sekadar pelipur lara. Ada 'pekerjaan rumah' yang mesti dibenahi dari kekalahan itu. Apa? Â Tiga tunggal putri Indonesia seolah "kehabisan bensin" ketika memainkan game ketiga. Mereka habis-habisan di game pertama atau di game kedua, tetapi kemudian tak berdaya di game ketiga.
Padahal, kecuali Dinar Dyah (24 tahun) yang lebih berumur dibanding Yamaguchi (21 tahun), Gregoria (18 tahun) lebih muda dari Marin (25 tahun), juga Fitri (19 tahun) dibanding Sung Ji-hyun (26 tahun). Secara ketahanan fisik, tunggal putri Indonesia sejatinya masih bisa digenjot lagi. Meski, fisik kuat saja tidak cukup karena bila gagal mengimbangi permainan lawan, fisik akan mudah terkuras.
Simak penuturan Gregoria yang dikutip dari badmintonindonesia.org, "Saat bisa memenangkan game kedua, saya pikir saya punya peluang di game ketiga. Tetapi di game ketiga, saya tidak bisa mengimbangi kecepatannya (Marin). Mungkin ketahanan saya masih kurang, kecepatan kaki saya tidak bisa stabil dari awal," ujarnya.
Bagi tunggal putri Indonesia, Malaysia Open 2018 seharusnya menjadi pelajaran bahwa "tidak ada yang tidak mungkin" di lapangan bulutangkis seperti halnya yang acapkali didengungkan suporter sepak bola. Semoga tunggal putri Indonesia bisa menjadikan Malaysia Open sebagai pijakan untuk tampil lebih oke di Indonesia Open yang dimulai Selasa besok.