Langit Muntok, Bangka Belitung sore itu dihiasi jingga, serupa janji manis yang selalu ditepati. Kota tua yang pernah menjadi jantung penambangan timah itu kini menyimpan kedamaian lain. Di balik dinding rumah sederhana Mbah Sunarman, di sebidang tanah yang tak seberapa luas, janji itu menjelma hijau. Di sana, Sunarman, Mbah saya yang genap berusia 79 tahun tetapi bak pepatah luar "aged like a fine wine", adalah raja, sekaligus hamba. Di telinga saya, melalui sambungan telepon yang sesekali diselingi suara burung, tawa renyahnya terdengar. "Ada apa nanya-nanya? Mau bertani?" Tanyanya, suaranya dengan accent yang khas menyampaikan sarat kedamaian yang hangat.
Bertani bagi Mbah Sunarman bukanlah soal bisnis atau ikatan dinas. Tujuh anaknya sudah dewasa, rezeki sudah diatur, dan petak tanah di belakang rumahnya adalah sebuah 'kulkas hidup' pribadinya. Ia menanam apa yang ia suka dan apa yang musim izinkan, Singkong untuk teman minum kopi, Cabai yang pedasnya menghangatkan keluarga, Ubi Jalar yang manis, untaian Kacang Panjang yang memanjat riang, hamparan hijau Sawi, hingga pohon Sukun dan Pisang yang setia menjulang. Semuanya murni untuk mengisi perut sendiri. "Kalau tetangga butuh, ya ambil saja. Barokah itu bukan hanya soal uang," ujar Mbah bijak.
Mendengar suaranya, memori masa kecil saya langsung terlempar kembali ke Muntok. Halaman itu terbagi dua: sepetak kecil yang selalu lapang kami jadikan lapangan bola dadakan dengan sandal jepit sebagai gawang, sementara petak di sebelahnya adalah kebun rimbun Mbah. Saya teringat berlarian mengejar si kulit bundar, hati-hati agar tendangan tak melambung jauh ke area kebun. Kebun itu, dengan rimbunnya dedaunan dan pohon-pohon besar, termasuk barisan pohon pisang yang rapat, selalu menyimpan misteri sekaligus ketakutan bagi saya kecil. Terlalu banyak tempat gelap untuk bersembunyi. Namun, ketakutan itu perlahan hilang setiap kali Mbah memanggil, "Sini, bantu mbah panen!". Kebun kecil Mbah adalah contoh sempurna dari kemandirian pangan rumahan. Tak ada campur tangan pemerintah, tak ada target panen yang mencekik. Hanya kegembiraan seorang pria yang menemukan kedamaian dalam siklus hidup tanaman.
Di tengah kesederhanaan itu, saya menemukan kearifan teknis yang tak kalah hebat dari para ahli. Mbah telah menerapkan Tabulampot (Tanaman Buah dalam Pot) secara tak sadar. Cabai ditanam dalam wadah karena ia tahu akarnya harus lebih terawat. Pohon sukun dibiarkan tumbuh besar di sudut yang tepat. Jika diterapkan pada kebunnya, teknik bertani rumahan modern akan semakin membuatnya efisien, khususnya di lahan terbatas di belakang rumah. Ia bisa menggunakan Vertikultur (Pertanian Vertikal) untuk Sawi dan Kacang Panjang dengan memanfaatkan sisa bambu atau kayu, sehingga lahan menjadi lebih luas ke atas dan tidak mengganggu area bermain bola, namun sepertinya Mbah enggan memaksa diri, sebab di usia yang lanjut, Mbah memilih kesederhanaan---hanya sejauh yang sanggup ia pikirkan, hanya setakat yang mampu ia lakukan. Sementara umbi-umbian seperti Singkong dan Ubi Jalar semakin mudah dipanen sebab ia tanam di dalam karung bekas besar, memangkas tenaga menggali tanah keras di Muntok adalah sebuah konsep Urban Farming yang sangat praktis. Di mata Mbah, kesempurnaan bukanlah hasil dari kerumitan, melainkan dari penerimaan. Ia menanam seadanya, dengan apa yang mampu ia pikirkan dan aplikasikan pagi itu. Lahan itu hanyalah tanah, bukan laboratorium. Ia tidak ingin terikat pada sistem yang menuntut perawatan rutin dan struktural. Kesenangannya terletak pada kebebasan untuk berubah, menanam Sawi sekarang dan Kacang Panjang di musim berikutnya, tanpa terikat pipa atau susunan rak.
Mendengar kisah Mbah Sunarman, saya sadar bahwa bertani adalah lebih dari sekadar menanam bibit dan menunggu panen. Ini adalah cara hidup. Sebuah dedikasi untuk merawat, sebuah pembelajaran untuk bersabar, dan sebuah warisan sederhana yang ia tinggalkan bagi ketujuh anaknya dan juga cicitnya---bahwa kemewahan hidup sesungguhnya adalah kebebasan untuk memilih kesederhanaan. Telepon ditutup. Malam semakin pekat, namun kebun Mbah Sunarman tetap bersinar dalam ingatan saya, mengajarkan bahwa di tengah hiruk pikuk dunia, masih ada raga tua yang menemukan kesuburan abadi di balik dinding rumahnya. Dan itulah definisi dari petani Bahagia yang sesungguhnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI