Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puspa Ragam Coretan tentang Istilah Terkini, Mulai dari "Pelakor" sampai "Naturalisasi"

14 Februari 2018   18:03 Diperbarui: 14 Februari 2018   22:25 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: laiguana.tv

Senyampang (mumpung) lagi ada semangat menulis, hari ini saya akan menuangkan beberapa coretan-coretan ringan tentang bahasa yang menjadi renjana (passion) saya. Namanya coretan ringan, mungkin saja tak lepas dari kekurangakuratan dan kekurangilmiahan. Namun, untuk diketahui saja, setiap saya menuangkan tulisan tentang bahasa ini, selalu saya lakukan riset kecil, cek dan ricek ke pelbagai narasumber. Oke, tak ingin berpanjang lebar kata, here we go.

Sejarah asal kata "biskuit gabin"

Anda sekalian, khususnya dari generasi zaman old, pasti mengenal biskuit gabin. Dia menyerupai crackers, berbentuk empat persegi panjang tipis dan rasanya asin renyah. Paling asyik untuk cemilan (kudapan) ditemani kopi susu di saat bersantai. Tapi barangkali pernah tebersit dalam benak kita, mengapa dia dinamakan "gabin". Inilah sekelumit sejarah penamaan "gabin" ini. Sejatinya, di zaman dulu dia dinamakan dengan "cabin biscuits". Diberi nama demikian, karena biskuit ini disajikan kepada para penumpang kapal yang berada di dalam kabin sebagai snack untuk mengisi waktu bersantai di kapal. Namun cabin biscuits ini juga berfungsi sebagai penawar mabuk laut bagi para penumpang, karena rasa asin dari biskuit ini.

Penumpang kelas tiga yang paling sering mengalami sea sickness (mabuk laut) ini sangat tertolong dengan pembagian cabin biscuits ini. Tak lama kemudian, istilah cabin biscuits ini menjadi merk biskuit dalam kemasan. Dan kalau saya tak silap, merk Cabin Biscuits ini hingga saat ini masih ada dijual.

Di masa dulu ini, orang Indonesia agak kelu lidahnya kalau mau mengucapkan cabin biscuits ini. Maka untuk enaknya supaya lidah tidak kepeluntir-kepeluntir, disebut saja menjadi "gabin". Dan toh penjaga toko P & D akan langsung paham manakala kita mengatakan mau beli "gabin". Itulah sejarah kata "cabin" yang berubah menjadi "gabin".

Spouse

Anda pasti menjumpai kata Inggris ini manakala mengisi formulir (borang) untuk permohonan visa dan lain sejenisnya. "Spouse" bermakna "pasangan dalam ikatan pernikahan", jadi bisa merujuk kepada "suami" dan bisa merujuk kepada "istri". Yang bikin saya rada heran adalah kenapa spouse ini kok tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa saja kita mempunyai padanannya yaitu "bojo". Dalam bahasa Belanda dia disebut dengan "echtgenoot". Dalam kamus dwibahasa memang "spouse" ini diberi definisi "pasangan". Namun menurut saya ini kurang memadai, karena terlalu luas pengertiannya. "Pasangan" kan bisa disebutkan untuk pemain ganda dalam pertandingan bulu tangkis misalnya, atau untuk calon kepala daerah yang sering kita buat akronimnya dengan "paslon" (pasangan calon).

Normalisasi vs naturalisasi

Beberapa waktu yang lalu, di saat Jakarta dilanda banjir yang lumayan besar, Gubernur DKI Anies Baswedan meluncurkan istilah baru yaitu "naturalisasi sungai". Orang lantas teringat dengan istilah yang sudah lazim dipakai yakni "normalisasi sungai". Apakah "naturalisasi sungai" sama dengan "normalisasi sungai"? Menurut Anies tidak sama. Dan dia mengemukakan sejumlah alasan mengapa tidak sama. Kalau kita mengupas (breakdown) kedua istilah ini maka akan ketemu kata "normal" dan "natural". Dan kita sudah cukup paham apa yang tersurat dan tersirat dari kata "normal" dan "natural" ini. Normalisasi ya artinya dibuat normal dan naturalisasi dibuat jadi natural (alami). Itu logikanya kalau kita tidak mau repot-repot menelusuri diksi ini lebih mendalam.

Istilah "naturalisasi" kalau kita rujuk pada kamus yang mana pun mempunyai definisi "pengalihan status seseorang dari warga negara asing menjadi warga negara setempat". Tak ada kamus yang memberikan permaknaan "naturalisasi" sebagai "upaya untuk mengembalikan sesuatu kondisi ke bentuk natural (alami) semula". Lantas bagaimana dengan istilah "normalisasi"? Dari penelusuran saya pada surat kabar lama, ternyata istilah "normalisasi sungai" sudah dari dulu dipakai. Pada koran terbitan tahun 1932, ada judul berita {dalam bahasa Belanda) "Normalisatie van de Soerabaja Rivier" (artinya "Normalisasi sungai di Surabaya).

Pelakor

Ada istilah baru yang lumayan trending di media sosial yaitu "pelakor". Dia adalah akronim dari "perebut laki orang". Yang terutama dapat gelar ini adalah Jennifer Dunn yang konon merebut suami orang dan tanpa sungkan-sungkan memajang kemesraannya di Instagram. Saya tadinya berasumsi istilah "pelakor" ini sangat baru diciptakan orang di dunia maya dan kagum dalam waktu singkat sudah diadopsi orang. Saya pernah menulis coretan membuat hipotesis mengapa kata "pelakor" ini begitu cepat diserap dalam mindset publik. Alasan saya, karena kata "pelakor" ini sangat dekat dengan kata "pelacur", sehingga di bawah sadar orang mengasosiasikan kedua kata ini.

Tengarai saya bahwa ini kata baru gres, ternyata terbantahkan dengan tidak sengaja. Kebetulan saya sedang membaca sebuah novel Ayu Utami berjudul "Larung" yang luar biasa. Di situ, pada salah satu bab saya menemukan kata "lakor". Saya kutip sedikit paragraf itu: "Bagus, elu udah putus dari laki orang itu. Carilah bujangan, Cok. Jangan lakor. Bahaya." Dan novel "Larung" ini sudah diterbitkan pada tahun 2000. Berarti setidaknya "lakor" ini sudah menjadi bahasa gaul 18 tahun yang lalu.

Micin

Kata yang cukup populer di medsos untuk mengolok-olok adalah "micin". Biasanya kita ini disandingkan dengan kata "bani" menjadi "bani micin". Kita semua mafhum apa yang dimaksud dengan "micin" yang sebutan dalam bahasa Inggris adalah MSG (Monosodium glutamate). Dia adalah penyedap makanan. Yang membikin saya sedikit heran, kata "micin" ini dulunya disebut orang dengan "vetsin". Entah semenjak kapan kata "micin" ini menggusur kata "vetsin". Istilah "vetsin" ini diadopsi ke dalam kosakata Indonesia bermula dari nama merk bumbu penyedap makanan yaitu "Ve Tsin". Sampai sekarang produk bumbu ini masih dijual di pasaran. Kalau menganalisis akar kata itu sendiri, dia berasal dari bahasa mandarin "bi-tjieng" (bi= flavour, cita rasa, tjieng = powder, bubuk).

Yang menarik, kata "vetsin" ini juga ada pada kosakata bahasa Malaysia dan Filipina. Inilah salah satu contoh kata yang lahir dari nama sebuah merk (trade mark). Contoh lain, misalnya "odol" dari merk pasta gigi "Odol", "silet" dari merk pisau pencukur "Gilette".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun