Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Catatan Kecil Peristiwa G30S di Mata Seorang ABG

26 Mei 2016   15:35 Diperbarui: 30 September 2021   07:00 4423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Kompas

Tentara ini membawa gunting besar dan wanita yang kedapatan mengenakan rok span langsung digunting roknya. Kebetulan waktu itu ibu saya mengenakan rok span berwarna biru Ben Hur, sehingga begitu mendapat informasi dari orang-orang bahwa petugas razia sedang bergerak menuju ke arah kami, tunggang-langganglah kami meninggalkan THR.

Masa pra-G30S juga ditandai dengan hidup susah. Untuk membeli keperluan hidup sehari-hari (zaman itu sudah ada istilah ‘sembilan bahan pokok’, namun belum diakronimkan menjadi ‘sembako’) orang harus mengantri. Beras mengantri, minyak tanah mengantri (di Surabaya minyak tanah disebut ‘lengo gas’), tepung terigu mengantri, itu pun jumlah yang boleh dibeli dibatasi. 

Maka tak heran pada masa itu banyak tukang catut bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Bahkan yang aneh, untuk menonton bioskop pun kita harus beli karcis lewat tukang catut. 

Kelangkaan barang-barang kebutuhan sehari-hari ini, membuat Bung Karno geram dan menuduh pedagang menimbun barang. Istilah yang dipakainya adalah “manipulator”. Masa itu begitu sulit mendapatkan beras, sampai disosialisasikan agar masyarakat beralih makan bulgur. 

Saya masih beruntung tidak sempat makan bulgur, meskipun masih ingat beras yang kita beli banyak kutunya dan gabahnya. Radio Malaysia yang menjadi seteru kita dalam konfrontasi ganyang Malaysia dalam propagandanya mengolok-olok dengan slogan “Horas bah, habis beras makan gabah”.

Tibalah hari kelam peristiwa pemberontakan G30S PKI. Sebagai anak remaja, saya tidak begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hanya terasa ada suasana mencekam. Dikabarkan ada penculikan dan pembunuhan jenderal. Para pemberontak kemudian menguasai RRI. 


Kalau diproyeksikan ke masa sekarang, terasa lucu sekali ya, orang kudeta pertama kali menguasai RRI. Siapa yang mau repot-repot menduduki RRI, wong yang mendengarkan siarannya juga kagak ada. Tapi pada masa itu memang RRI adalah salah satu obyek vital. Semua orang memasang kuping pada radio pemerintah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Penamaan kudeta ini juga berubah-ubah. Sempat disebut dengan “Gestapu” (akronim ‘Gerakan September Tiga Puluh’) untuk menyerupai nama Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam. Tapi terus dikoreksi lagi menjadi “Gestok” (akronim “Gerakan Satu Oktober’). 

Namun tak berlangsung lama istilah Gestok ini dikoreksi kembali, karena menurut versi pemerintah tanggal 1 Oktober 1965 adalah hari penggagalan kudeta yang dilakukan oleh PKI, sehingga istilah dikembalikan lagi menjadi Gestapu. Yang saya banyak mendengar di radio dan membaca di koran sebagai dalang gerakan ini adalah Letkol Untung, komandan pasukan Cakrabirawa (kalau sekarang adalah Paspampres). Saya malah tidak mengikuti berita.

Hari-hari berikutnya pascakudeta G30S diliputi dengan banyak kebingungan dan kekacauan. Tak ada berita yang bisa diverifikasikan karena kita diliputi oleh rasa ketakutan. Ketakutan ini bersumber pada rumor bahwa banyak orang PKI yang dikejar-kejar dan dibantai. Saya mendengar cerita bahwa tidak sedikit orang yang dipanggil pulang ke desa asalnya. 

Di sana, sudah siap anasir-anasir yang akan mengalungkan celurit ke leher mereka sembari memerintahkan mengucapkan kalimat syahadat. Kalau tidak sanggup melafalkannya, maka tanpa ampun langsung ditebas lehernya dengan celurit tadi. Juga rumornya kali Brantas sampai berubah warna merah saking banyaknya korban pembantaian yang dilempar ke sungai ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun