Singkatan “BJ” kalau disebutkan dalam bahasa Inggris bermakna “blow job” alias “oral sex” yang saya tak usah jabarkan lebih jauh maknanya.
Namun di Palembang, “BJ” punya permaknaan yang unik dan tak ada hubungannya dengan seks oral di atas. Soalnya, di Palembang “BJ” adalah singkatan dari “Burukan Jambi”.
“Burukan Jambi” mengacu kepada “pakaian bekas layak pakai yang biasanya diselundupkan dari Singapura melalui pelabuhan tikus di Jambi dan dijual di pasar sepanyol (separo nyolong) di kota Palembang”.
Istilah “burukan” ini nampaknya khas dipakai di daratan Sumatera yang maknanya “barang loak”. Jadi di Palembang (dan juga di kawasan lain Sumatera), tukang loak dinamakan dengan “tukang burukan”. Di kota kelahiran saya, Surabaya, mereka disebut dengan “tukang rombeng”.
Ternyata, sewaktu melempar isu istilah “BJ” di laman Facebook, saya mendapat masukan yang sangat menarik dari beberapa sahabat. Desrina Sitompul, sahabat saya di FB, mengatakan bahwa di Medan juga ada BJ, dengan arti kepanjangan “Burukan Jerman”.
Saya sempat wondering (bertanya dalam hati), kenapa dipakai nama “Jerman”. Ternyata penjelasannya, karena pada zaman dulu, misionaris pertama yang datang ke tanah Batak, membawa pakaian-pakaian bekas untuk dibagi-bagikan kepada penduduk lokal. Termasuk juga gereja HKBP yang zaman dulu sering mendapat bantuan pakaian bekas layak pakai dari Jerman.
Sekarang, sekalipun pakaian bekas (second-hand) ini sebagian besar dari Singapura, julukan Burukan Jerman (BJ) masih melekat pada dirinya.
Ada lagi masukan dari Valencya Poetri, sahabat FB saya yang lain, yang mengatakan bahwa pakaian bekas ini di Blitar (mungkin juga di kawasan Jawa Timur lain) dinamakan dengan “BI” alias “Batam Impor”.
Wah, sedikit lebih keren arti singkatan ini, karena tak mengandung unsur kata “burukan”. Memang tak dijelaskan lebih lanjut mengapa dinamakan “Batam Impor”, namun saya bisa membayangkan bahwa pulau Batam yang berdekatan dengan Singapura, merupakan tempat transit barang-barang selundupan untuk selanjutnya disebarkan ke berbagai kota di Indonesia.
Pakaian-pakaian bekas ini rata-rata bermerk (branded) sehingga peminatnya selalu banyak. Yang saya sampai sekarang belum mudeng, bagaimana caranya pedagang pakaian bekas mengumpulkan pakaian bekas ini sampai berkarung-karung banyaknya
Apakah dengan mendatangi dari rumah ke rumah (door to door) atau membuka semacam pawn-shop (toko loak) yang menerima barang-barang bekas dengan harga bersaing, semuanya masih gelap bagi saya.
Saya pernah membaca bahwa pemerintah pernah melarang “impor” pakaian bekas” ini, entahlah apa alasannya, mungkin karena alasan kesehatan (takut menyebarkan bibit penyakit) atau karena alasan martabat bangsa (gengsi) jadi pemulung barang bekas orang Singapura.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI