Mohon tunggu...
Agustina Sugianto
Agustina Sugianto Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

I love writing as much as I love to read

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Chiang Mai, Destinasi Sempurna untuk Bersantai

27 Agustus 2013   13:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:45 9254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak pertama saya menginjakkan kaki di Chiang Mai, saya tahu saya harus kembali lagi ke sana suatu hari nanti. Saya benar-benar jatuh cinta pada suasana kotanya yang santai dan berkesan tua, namun sama sekali tidak menimbulkan citra lusuh atau ketinggalan jaman. Udaranya pun sejuk, membuat kegiatan wisata lebih nyaman dilakukan. Walau begitu, bila kita berencana untuk pergi ke Chiang Mai pada bulan Desember–Februari, lebih baik kita membawa jaket. Karena kabarnya, suhu terendah di malam hari bisa mencapai 13°C.

Anyway, berikut adalah catatan perjalanan saya dan suami di Chiang Mai pada bulan April 2012.

HARI 1 – Terbang dari Bangkok ke Chiang Mai

Kami tiba di Bandara Internasional Chiang Mai pada pukul delapan malam. Interior bandara bisa dibilang sederhana, namun apik dan bersih. Bagasi keluar tidak sampai sepuluh menit setelah penumpang turun dari pesawat. Papan petunjuk arah cukup jelas dan tidak bikin turis bingung. Saya juga tidak perlu takut pada taksi gelap atau calo taksi. Karena di bandara sudah disediakan loket resmi taksi dan pembayarannya dilakukan di sana. Jadi saya hanya perlu menyerahkan kupon pada supir taksi (tanpa ditagih tip atau biaya tambahan lainnya). Tarif dari bandara menuju pusat kota (Old City Chiang Mai) adalah 120 THB (Thai Baht).

Dari bandara, kami langsung menuju ke Imm Thapae Hotel yang berada tepat di depan Thapae Gate (tepat di samping area Old City). Saya tidak memiliki keluhan terhadap hotel ini. Yah, kecuali kenyataan bahwa mereka tidak memiliki elevator dan semua kasurnya berukuran single. Tapi, kamar dan toiletnya bersih, staff-nya pun ramah dan bisa berbahasa Inggris dengan baik. Layanan Wi-Fi diberikan gratis, dengan kecepatan yang jauh lebih baik dibandingkan standar Jakarta. Untuk hotel bintang tiga dengan lokasi strategis, tarifnya juga bisa dibilang sangat murah. Hanya 1.000-1.200++ THB per malam (sekitar 340.000++ IDR), sudah termasuk makan pagi. Ya, biaya akomodasi yang murah adalah salah satu alasan mengapa saya merasa gembira berwisata ke Chiang Mai. Bahkan layanan laundry hotelnya murah. Hanya 30 THB untuk selembar kaus. Kami sampai sekalian mencuci tumpukan baju kotor sisa perjalanan dari Bangkok di sini :)

1377584231270848056
1377584231270848056

Untuk makan malam di hari pertama, karena sudah merasa lelah, maka saya dan suami memilih restoran McDonald 24 Jam yang berada tepat di bawah hotel. Standar harganya kurang lebih sama dengan standar harga McD di Jakarta, sekitar 150 THB untuk cheese burger, medium size softdrink, dan medium size french fries.

HARI 2 – Wat Phratat Doi Suthep, Borsang, San Kamphaeng, Night Bazaar

WAT PHRATHAT DOI SUTHEP

Kata orang, tidak lengkap datang ke Chiang Mai, bila tidak berkunjung ke Wat Phrathat, Doi Suthep. Kompleks candi/kuil ini berlokasi sekitar 15 km dari Kota Tua. Namun karena jalannya menanjak dan berliku, maka perjalanan ke sana kurang lebih akan menempuh waktu sekitar 30 menit dari Old City. Catatan untuk yang mudah mabuk darat: sebaiknya tidak makan terlalu banyak sarapan sebelum pergi tur, atau akan merasa mual begitu sampai di atas.

Untuk pergi ke Wat Phrathat Doi Suthep, saya memesan group tour join-in dari Travel Hub Chiang Mai. Biaya 550 THB/orang, sudah termasuk transport, tiket masuk dan elevator menuju kuil. Sebenarnya bila ingin naik kendaraan umum songthaew (semacam angkot/KWK) juga bisa. Biayanya hanya 40 THB/orang. Tapi mengingat jalan yang berliku, saya rasa ikut tur dengan kendaraan nyaman adalah pilihan yang bijaksana untuk dilakukan.

137758476330643988
137758476330643988

Selain saya dan suami, peserta tur yang lain semua berdarah kaukasia. Ya, di Chiang Mai memang saya jarang menemukan turis dari Indonesia, karena turis Indonesia sepertinya lebih senang disuruh belanja ke Bangkok. Walau begitu, saya sangat terkesan dengan tour guide Travel Hub yang sepertinya mengenal aneka rupa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Setidaknya dia bisa mengatakan ‘Saya suka kamu’ dan ‘Saya cinta Indonesia’. Entah kenapa, itu membuat saya dan suami jadi merasa lebih diterima dalam rombongan.

Sesampainya di Doi Suthep, kami tidak langsung dibawa ke Wat Phrathat, melainkan diturunkan di pasar lokal Doi Pui yang menjual kerajinan tangan dan perhiasan bikinan warga desa sekitar –Hmong Village. Harga barang tentu perlu ditawar, dan saya akhirnya membeli gelang metalik dengan batu hias seharga 100THB.

13775843371206024939
13775843371206024939

Usai dari Doi Pui Market, baru kami dibawa ke Wat Phrathat Doi Suthep. Untuk mencapai pintu masuknya, kita harus meniti kurang lebih 300 anak tangga. Sebagian besar anggota rombongan saya dengan senang hati mendaki tangga-tangga itu, tapi saya dan suami tentu saja lebih memilih untuk naik elevator yang cepat dan bebas capek.

1377584432200559645
1377584432200559645

Seperti aturan yang berlaku di semua kuil yang ada di Thailand, alas kaki harus dilepas sebelum masuk ke dalam kuil. Berpakaian sopan juga sangat disarankan. Jadi, lebih baik lupakan saja memakai celana pendek (untuk pria dan wanita), apalagi rok pendek bila ingin berkunjung ke kuil.

Wat Phrathat sendiri didirikan dengan campuran pengaruh dari agama Buddha dan Hindu. Di sana kita bisa melihat candi yang berwarna emas, aneka rupa patung Buddha yang terbuat dari batu giok atau jamrud, deretan bel logam, dan patung dewa Ganesa. Pada salah satu titik tertinggi kuil, kita juga bisa melihat pemandangan kota Chiang Mai. Sayangnya, waktu saya ke sana, kebetulan sedang musim bakar ladang, jadi pemandangan kota tertutup kabut sepenuhnya dan sama sekali tidak terlihat. Tapi tenang saja, kabut asap di sana tidak sampai mengganggu pernapasan kok.

13775844831944026896
13775844831944026896

Wat Phrathat merupakan kuil yang aktif, artinya orang lokal masih banyak yang datang ke sana dengan tujuan untuk benar-benar bersembahyang. Saya dan suami tidak berbagi kepercayaan yang sama, jadi yang bisa kami lakukan hanya berputar kompleks sambil berfoto dan menyebar uang receh untuk dimasukkan ke dalam kotak-kotak amal yang ada di segala penjuru kuil.

BORSANG & SAN KHAMPAENG

Kami sampai kembali di hotel dari tur Wat Phrathat pada pukul 12.30. Kemudian langsung melanjutkan perjalanan ke area Borsang dan Sang Khampaeng untuk melihat industri pembuatan payung dan sutera.

Tur yang saya pesan masih dari Travel Hub, biayanya adalah 300 THB/orang. Tapi bila tidak ingin memakai jasa tur, bisa charter songthaew dari Old City, biayanya 200 THB.

Walau kami memesan group tour join-in, tapi untuk tur yang ini hanya ada saya dan suami sebagai pesertanya. Kami jadi merasa seperti diberi mobil dan supir pribadi, karena kami jadi bebas minta turun di mana saja tanpa batasan waktu. Tour guide yang kali ini pun sangat ramah dan informatif. Bahasa Inggrisnya bisa dibilang sangat baik untuk orang yang belajar secara autodidak. Tapi saat kami mengatakan kalau kami berasal dari Jakarta, dia hanya bisa memasang wajah bingung. Indonesia dia pernah dengar, tapi ibukotanya Jakarta sama sekali tidak dikenal. Guide kami bahkan menyangka bahwa Jakarta itu adalah kota primitif yang masih dipenuhi hutan dan orangutan hahaha.

Tur industri rumahan kami dimulai dengan berkunjung ke Thai Silk Village di San Kamphaeng. Di sana, disajikan proses pembuatan kain sutera, mulai dari bentuk ulatnya, sampai proses perebusan, dan penenunan serat kain. Kami juga diberi tahu cara untuk mendeteksi kain sutera yang palsu dan asli. Baru setelah itu, kami dibawa ke ruang pajang yang menjual aneka rupa kain dan produk jadi dari sutera. Harganya bervariasi. Untuk kain meteran, harganya mulai dari 635 THB/meter. Saya sendiri membeli kain bermotif dengan harga 750 THB/meter untuk ibu saya. Sementara kemeja pria diberi label harga mulai dari 2.000 THB per buah. Kalau ingin menjahit ukuran badan sendiri juga bisa di tempat ini, tapi pembuatannya membutuhkan waktu tiga hari.

13775845441177825119
13775845441177825119

Lepas dari tempat membuat sutera, kami sempat mampir ke toko perhiasan Gems Gallery yang berukuran sangat besar, bahkan katanya yang terbesar di dunia. Setelah itu baru kami pergi tempat pembuatan payung di Borsang. Lagi-lagi kami bisa melihat proses pembuatan payung tradisional yang terbuat dari sa paper, mulai dari proses pembuatan kertas sampai pembuatan payungnya itu sendiri. Namun yang membuat kami penasaran bukan payungnya itu sendiri. Di sebelah ruang produksi payung, ada juga workshop yang menawarkan pembuatan kaus custom made. Jadi, kita bisa minta kaus yang gambarnya khusus dibuat untuk kita. Prosesnya juga tidak memakai teknologi digital, namun memakai tinta sablon yang langsung dilukis di atas kaus polos dan dikeringkan di tempat.

137758460197822499
137758460197822499

Biaya pembuatan kaus bervariasi, mulai dari 50 hingga 200 THB, tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan lukisan. Dan untuk kaus polosnya bisa dibeli sekalian di sana seharga 200 THB/pcs.

Bila tertarik membeli barang-barang kerajinan dari Borsang, kita bisa memilihnya di area pajang yang terletak di seberang tempat produksi. Harga payung kertas berkisar antara 70–240 THB. Sementara sa paper berukuran A2 dijual mulai dari 20 THB.

1377584659145087701
1377584659145087701

Dari Borsang, tour guide kami sempat mengajak kami ke tempat pembuatan perhiasan perak. Seperti di tempat lain, proses pembuatan perhiasannya pun diperlihatkan di tempat ini.

Dan terakhir, kami diajak ke sebuah toko penjual madu Thepprasit Honey. Di sana kami diberi demonstrasi untuk mengenal keaslian madu. Saya sendiri membeli madu berukuran 600 gram dengan harga 700THB. Kalau mau mencoba es krim madu juga bisa di sini, tapi karena saat itu udara terasa dingin, saya rasa sebaiknya saya mengurungkan hobi saya makan es krim untuk kali ini.

CHIANG MAI NIGHT BAZAAR

Penjelajahan hari ke-2 kami di Chiang Mai ditutup dengan wisata ke area pasar malam yang membentang di sepanjang Changklan Road. Waktu tempuh dengan berjalan kaki dari hotel kami sekitar 10 menit. Sementara jarak tempuh dari Thapae Gate adalah sekitar 600 meter.

1377584707733002582
1377584707733002582

Pasar ini dibuka setiap hari mulai dari pukul enam sore hingga tengah malam. Di dalamnya kita bisa menemukan aneka rupa suvenir, kerajinan tangan, pakaian, bahkan pertunjukan kabaret.

Anusarn Market yang merupakan pusat tempat makan murah pun ada di tempat ini. Sebagai contoh, jus stroberi hanya dihargai 20 THB per gelasnya. Pilihan makanan yang ada di Anusarn juga cukup beragam. Ada Thai, Italian, Indian, bahksan sampai Pakistan dan Arabic food yang halal. Kami tentu saja memilih makanan Thailand yang wajib dicoba : sup Tom Yum dan Pad Thai. Kisaran harganya tidak mahal. Semangkuk tom yum dihargai 90THB dan Pad Thai-nya 50THB. Porsinya cukup untuk membuat kenyang satu orang dewasa dan rasanya enak sekali.

1377584829374291382
1377584829374291382

Selesai mengisi perut, kami pun berjalan menyusuri jalan Changklan, tapi tidak membeli apa-apa. Karena sebenarnya saya hanya ingin menikmati suasana Night Bazaar. Di salah satu sisi pedestrian ada musisi jalanan yang terdengar memainkan biola, membuat suasana jadi sedikit lebih romantis. Sampah juga tidak pernah terlihat bertebaran, dan kios-kios pinggir jalan tertata rapi hingga tidak memakan jatah jalan kendaraan.

Yah, Night Bazaar memang tempat yang menyenangkan dan aman untuk disusuri. Tempat ini memang ramai orang, tapi sama sekali tidak berkesan semrawut atau mengancam.

HARI 3 – Berkeliling di dalam tembok Old City

Sebenarnya agak ironis bila kita menyebut Old City Chiang Mai, karena Chiang Mai itu sendiri memiliki arti Kota Baru (chiang = kota, mai = baru). Tapi, melihat kota ini dibangun pada tahun 1296, mungkin untuk sekarang memang sudah pantas disebut sebagai Kota Tua.

Dahulu, Chiang Mai ditujukan sebagai ibukota baru dari Kerajaan Lanna yang sebelumnya berpusat di Chiang Rai. Dan untuk melindungi kota dari serangan tentara Burma, maka dibangun tembok tinggi dan parit yang mengelilingi kota. Area di dalam tembok itulah yang disebut sebagai Old City Chiang Mai. Hingga sekarang, kita masih bisa melihat sisa-sisa reruntuhan tembok dan paritnya.

Kota Chiang Mai memang terasa begitu kental diwarnai sejarah, juga budaya yang dipengaruhi agama Buddha. Di Chiang Mai dan sekitarnya diketahui ada sekitar 300 kuil (wat), sementara di dalam tembok Old City-nya sendiri bisa ditemukan setidaknya 30 kuil.

Maka di hari terakhir saya di Chiang Mai, saya mau santai saja menyinggahi kuil-kuil tersebut. Ukuran Old City tidak besar, hanya sekitar 1,6 km x 1,6 km, jadi saya pikir saya bisa berjalan kaki saja dari ujung ke ujung. Tapi kalau mau menyewa sepeda atau motor juga bisa, biayanya 150 – 200 THB/hari.

13775848931450534110
13775848931450534110

Penjelajahan saya di dalam tembok Old City dimulai dari Wat Chiang Man. Kuil ini adalah kuil pertama yang dibangun di Chiang Mai pada tahun 1297. Selanjutnya saya sempat mampir ke Wat Chedi Luang yang dikenal memiliki bangunan paling tinggi di Chiang Mai. Lalu ke Wat Pan Tao yang seluruhnya dibuat dari kayu jati, Wat Phra Singh, dan terakhir ke Wat Buppharam yang terletak tidak jauh dari Thapae Gate.

Kuil-kuil di atas kurang lebih memiliki bentuk yang serupa, yang membedakan satu dengan yang lainnya paling hanya ukuran dan interior yang ada di dalamnya. Namun hampir semua kuil membawa ciri khas ornamen dari kerajaan Lanna, yaitu kepala naga di ujung atap atau pegangan tangganya.

Puas mengelilingi kuil-kuil yang ada di Old City, saya pun menjelajah bagian lain dari Chiang Mai yang sampai sekarang masih jadi bagian favorit saya. Di seberang hotel saya, tepatnya di gang Chang Moi Koi, setidaknya ada tiga toko buku yang berderet. Semuanya menawarkan aneka koleksi buku bekas dalam berbagai genre dan bahasa (tapi kebanyakan berbahasa Inggris). Kondisi buku-buku di sana bisa dibilang prima. Harganya tentu saja disesuaikan dengan kondisi bukunya, dan rata-rata dihargai separuh dari dari harga buku baru yang bisa saya temui di toko buku Kinokuniya Jakarta.

13775849361690927106
13775849361690927106

Dari toko buku, kami mengisi perut sebentar di restoran vegetarian ‘Taste From Heaven’ yang direkomendasi oleh TripAdvisor. Menunya terdiri dari campuran Chinese, Thai, dan sedikit Western food. Rasa makanannya lumayan, cukup gurih walau diklaim tidak memakai bumbu penyedap. Bagi yang punya waktu lebih dan ingin belajar masak, di restoran ini juga disediakan kursus memasak.

Usai makan, kami sempat singgah sebentar di Warorot Market yang terhitung bersih untuk ukuran pasar tradisional. Setelah itu, kami pun kembali ke hotel untuk mengambil koper dan meninggalkan Chiang Mai serta meneruskan wisata ke Phuket.

Demikianlah catatan perjalanan saya di Chiang Mai. Dan dari empat lokasi (Pattaya, Bangkok, Chiang Mai, dan Phuket) yang saya singgahi di Thailand, Chiang Mai adalah yang paling membekas di hati. Kota ini berhasil membuat kami merasa begitu betah. Suasananya santai tapi tidak membosankan, pilihan hiburannya banyak, orang-orangnya ramah, dan living cost-nya murah. Mungkin karena itulah Chiang Mai dikenal sebagai kota favorit untuk dijadikan tempat pensiun oleh masyarakat internasional. Chiang Mai juga dikenal sebagai salah satu destinasi terbaik untuk berbulan madu di Thailand. Dan setelah melihat sendiri pesona yang dimiliki Chiang Mai, akhirnya saya mengerti kenapa kota yang berada 700 km di utara Kota Bangkok ini bisa memegang semua predikat tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun