Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ada Aku yang Lain

16 Agustus 2019   01:00 Diperbarui: 16 Agustus 2019   01:26 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin aku masih percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.

Baru kini atau belum satu bulan ini, secara lugas dan langsung aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan. Terhadap kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru jauh lebih keji daripada penjajah asing dengan program tanam paksa dan kerja paksa.

"Anda telah melintasi negara-negara maju, tetapi Anda justru memeras keringat dan darah sesama manusia, bahkan sesama bangsa-negara. Oh, alangkah tega!"

Aku benar-benar marah semarah-marahnya. Aku tidak peduli lagi pada nilai kepatutan antara anak buah dan majikan, karena kepatutan yang berstrata itu tidaklah lebih mulia daripada perlakuan sewenang-wenangnya.   

Ya, menurutku, dia sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil kerja yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.

Sebelum satu bulan ini, aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya. Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah ikatan formal-legal.

Anggap saja sebuah aktualisasi atas pepatah "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Sudah miskin, masih juga diperas. Apakah itu tidak keterlaluan?

***

Kemiskinan merupakan sebuah bentuk penjajahan yang tidak jelas alias abstrak, meskipun jelas dalam bentuk material. Barangkali aku keliru. Ah, biarlah keliru. Toh kekeliruan merupakan hal yang lumrah, 'kan?  

Kemiskinan selalu meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan, kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.

Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang bersiap untuk meringkusku?

Di sisi lain, aku berusaha melakukan pembenaran sebagai upaya serius untuk menghibur diriku. Kemiskinan merupakan sesuatu yang bla-bla-bla-bla. Mungkin juga sebuah usaha santai pada saat situasi semakin sekarat atau semacam sebuah kemabukan paling parah untuk sejenak keluar dari penderitaan.

***

Ada hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari tersebut berada dalam situasi semakin sekarat dalam perbudakan dan kesewenang-wenangan. Di sebuah toko bahan elektronik, aku menerima kabar dari Ibu.

Sewaktu menerima kabar itu, aku belum sadar dari pengaruh sihir perbudakan terselubung. Kesadaranku seolah terbelit dalam gulungan kabel NYM 3 X 2,5. Aku menanggapi kabar Ibu dengan datar-datar saja.

Sekian jam setelah menerima kabar itu, barulah aku sadar. Oh, ternyata...

Aku merasa mendapat "sengatan" listrik baru dari Ibu pada jantungku. Ada arus besar yang seketika menyetrumku. Tak pelak aku bangkit, dan menjadi sebuah sosok yang seharusnya : berani mengatakan suatu kebenaran yang semestinya dinyatakan.

Sangat heroik, 'kan?  

***

Aku percaya bahwa seorang ibu memiliki suatu naluri alamiah yang berasal dari sebuah ikatan batin dengan anaknya, meskipun si anak sudah dewasa sekali. Sewaktu masih kuliah, aku pernah ditelepon oleh Ibu melalui telepon milik induk semang.

"Kamu sakit, ya?"

Begitu pertanyaan Ibu, dan aku iyakan.

Beberapa kali telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usiaku yang tidak muda lagi ini, naluri Ibu yang sangat sepuh masih saja berfungsi dengan optimal terhadapku.

***

Mungkin aku masih belum beranjak dari belitan duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.

Apa pun itu, kini aku "merasa" memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik manipulatif dalam hubungan anak buah-majikan alias antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan "merasa", tentu saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan hingga "merasa" itu lenyap, dan hakikat "memiliki" merupakan kenyataan yang konkret.

Akan tetapi, untuk sementara ini cukuplah pada tahap "merasa". Aku harus mengupayakannya seoptimal mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret. Berani melawan juga merupakan sesuatu yang konkret, 'kan?

Begitulah aku melawan kesewenang-wenangan seorang majikan. Janganlah dia "mentang-mentang" tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya menjadi penjajah baru dalam keseharianku.

Aku pun teringat pada pesan Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian lebih berat, akrena melawan saudara sendiri."

Memang, keberanianku melabrak sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tanpa tedeng-aling, aku pun mengatakan bahwa sikapnya sebagai orang kaya tetapi pelit selangit sangatlah memalukan.

Setelah mencecar dia dengan kalimat panjang-lebar-tinggi yang mencabik-cabik perasaan paling halus dari segi kemanusiaan, aku berhenti dengan kelegaan yang luar biasa. Aku sedang mengalami suasana perasaan yang melambung-lambung ketika itu.

Sebentar kemudian aku membumi. Kupikir, tidaklah mustahil bahwa perihal ini pun bisa menjadi sebuah serangan balik dalam bentuk lain terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan ada aku yang lain sedang "bermain api" setelah kukeluarkan dari sisi gelap jiwaku.

Aku berdebar-debar. Aku harus waspada.

*******
Kupang, 15 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun