Tadinya kukira, sebentar terpejam maka tidur segera tandang. Tadinya kukira, tidur akan melindungi aku dari cecaran cerca, dan bisa merdeka dalam durasi tertentu.
Tidur memang selalu menjadi benteng terakhir bagi pertahananku setelah seharian berperang dengan cecaran tuntutan. Tuntutan tidak pernah surut. Tuntutan tidak pernah luput. Tuntutan kemarin yang belum tuntas. Tuntutan hari ini yang belum juga tunai. Besok pasti ada tuntutan, baik sisa hari ini dan kemarin maupun baru. Tuntutan berkelanjutan. Seperti cercaan yang sering kuterima dari siapa saja.Â
Inilah risiko atau konsekuensi orang hidup, pikirku. Hanya tidur yang mampu melindungiku dari risiko-risiko tiada henti alias nonstop.
Maka aku pun tidak ingin menyiakan-nyiakan waktu untuk berlindung sekaligus menikmati kemerdekaan dalam durasi tertentu. Mau-tidak mau kubaca mantra pemanggil kantuk. Kantuk harus segera berkunjung agar pikiran terpinggirkan dari lalu-lalang ingatan, apalagi kenangan.
Benar. Kantuk memang patuh. Sebentar saja kantuk melakukan permintaanku melalui katup pandanganku. Seketika pikiranku menepi, dan menyepi. Semua berubah senyap.
Akan tetapi, belum sempat mimpi menyambar, aku tiba-tiba terjaga. Aku tercekik. Aku melotot. Kuku-kuku menusuk leherku. Oh!
Aku langsung meronta dan berusaha menoleh, meski susah sekali. Kuku-kuku menusuk semakin dalam karena terdukung oleh rontaanku. Oh, rasanya!
Akhirnya aku bisa sedikit menoleh. Oh! Sesosok beruang cokelat tengah mencekikku.
Ini bukanlah mimpi. Aku sadar, ini memang bukanlah mimpi.
Tadinya kukira hanya mimpi. Tadinya kukira...
*******
Balikpapan, 17 Februari 2019