Pada 26 Mei 2017 saya membaca status "sila" di beranda media sosial Amien Wangsitalaja. Dalam status Amien terpajang pengumuman "Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur pada Mei-Agustus 2017".
Sebagai warga Kaltim yang resmi dalam KTP sejak 2009, saya pernah mencoba menanggapi "tantangan" lomba menulis di Kaltim. Itu pun baru satu kali, yaitu Lomba Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara 2016 (tahun lalu).
Kali ini (2017) adalah sayembara menulis cerita anak-anak. Semula saya ragu, apakah saya berani mencobanya ataukah saya  abaikan saja.
Bagi saya, sayembara tersebut merupakan sebuah tantangan serius. Saya sama sekali belum pernah membuat sebuah cerita anak. Kalau saya pernah membuat cerpen semacam dunia anak-anak tetapi tidaklah saya sebutkan kisaran umur dan pendidikannya. Itu pun bermula dari kisah seorang kawan, yang kemudian saya olah lagi menjadi cerpen sesuai dengan versi saya.
Saya memang ragu untuk menanggapi "tantangan serius" itu. Sebab, selain yang telah saya sebutkan tadi, anggap saja sebagai alasan pertama, masih ada hal berikutnya yang memperkuat keraguan saya.
Kedua, batasan (kriteria) dalam sayembara atau lomba umumnya. Pada "Ketentuan Umum" dalam sayembara tersebut tertera "Bacaan ditujukan pada pembaca berusia 10-12 tahun" (poin ke-2), dan "Isi bacaan memiliki kekuatan dan pesan tentang sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar" (poin ke-4).
Saya menghitung umur 10-12 tahun itu adalah anak-anak yang berpendidikan Kelas IV s.d. Kelas VI SD. Saya tidak tahu, pada umumnya anak-anak seusia itu menyukai cerita apa. Pada usia itu saya tidak suka membaca tulisan tetapi gambar (komik) dengan sedikit tulisan.
Ketiga, batasan secara khusus. Pada "Ketentuan Khusus" tertera "Tema : lanskap kehidupan anak-anak Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (pedesaan atau perkotaan)" (poin ke-1).
Saya tidak terlalu sering bergaul dengan anak-anak di Kalimantan Timur, tepatnya Balikpapan. Latar masa kecil saya jauh dari Kalimantan, yaitu Bangka atau tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas. Sementara lingkungan saya di Balikpapan sangat berbeda dengan Sungailiat. Ditambah, perbedaan budaya dan zaman yang kontras.
Keempat, batasan secara khusus berikutnya. Pada poin ke-3 tertera "Jumlah halaman isi 30-40 lembar halaman (tidak termasuk halaman perancis)", dan poin ke-5 tertera "Spasi 1,5". Sementara mengenai ukuran huruf dan kertas, saya anggap, standart saja.
30-40 lembar dengan spasi 1,5, bagi saya, bukanlah sedikit seperti cerpen "Anak Ayam". Dengan latar tempat, waktu, budaya, dan usia saja sudah cukup membuat saya ragu untuk menanggapi "tantangan serius" ini, malah dikhususkan lagi "30-40 lembar dengan spasi 1,5".