Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hobi (Jangan) Bikin Ribut...

26 Agustus 2019   11:45 Diperbarui: 26 Agustus 2019   11:49 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Mahkamah Konstituasi (MK) memutuskan perselisihan hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2019, saya sedikit lega. Syaraf di kepala yang berbulan-bulan tegang, puyeng, bisa sedikit mengendor. 

Saya tidak perlu minum obat anti nyeri lagi. Setidak-tidaknya keputusan MK akan meredakan sementara pertentangan dua kubu yang saling berlawanan selama proses pemilu berlangsung.

Saya sengaja memilih kata "sementara" karena saya meyakini situasi konfliktual ini sudah mengendap dalam alam bawah sadar di masyarakat. Momentum Pilpres hanya pemantik saja. 

Pilpres sebenarnya konflik antarelite yang kemudian melibatkan masyarakat luas, hingga masuk ke ruang-ruang privat : keyakinan. Suatu saat situasi konflik itu bisa kembali mengemuka begitu menemukan momentumnya.

Sebenarnya usai Pilres pun muncul beberapa ketegangan. Namun ketegangan tersebut hanya melibatkan elit, tanpa melibatkan massa. 

Wacana yang mengemuka mengerucut kepada pembagian kursi kabinet. Meski ramai di media massa maupun media sosial, saya tidak begitu peduli. 

Ada ketua partai yang kehilangan urat malu mematok 10 kursi kabinet plus Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai kompensasi jasa-jasanya memenangkan kubu Joko Widodo. 

Elit lain di partai itu pun masih memberi catatan : jatah 10 kursi partai itu harus dipisahkan dengan jatah organisasi masyarakat yang melahirkan partai itu. Artinya jatah dari "kubu"  partai tersebut bisa lebih dari 10 kursi kabinet. Hmmm....

Di lain waktu, seorang ketua partai teriak-teriak di forum kongres. "Pokoknya jatah kursi menteri dari partai saya harus paling banyak," begitu kira-kira tuntutan sang ketua partai. 

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba lagi elit partai politik yang mengusulkan kursi pimpinan MPR dimekarkan jadi 10 kursi dari 4 kursi saat ini. Sebagai orang awam bisa menebak. Kursi pimpinan MPR jadi 10 biar partai yang memperoleh jatah pimpinan MPR?  begitu pikiran nakal saya.

Mengapa saya tidak begitu peduli? Ya karena semua itu urusan elite. Tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik. Apakah ketua partai minta jatah kabinet itu demi kepentingan rakyat? Sebagai rakyat saya mengatakan "tidak". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun