Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Hadirkan Kartini-kartini 4.0

8 April 2021   06:58 Diperbarui: 8 April 2021   07:02 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartini dan Puisinya - Sumber: Mastimon.com

Habis terang terbitlah kegemilangan, harusnya itulah kelanjutan pemikiran Kartini.  Meskipun telah banyak perempuan yang menempati kedudukan dan jabatan bergengsi di tanah air ini, tetapi kebanyakan kaum perempuan masih harus berjuang menghadapi kehidupan yang masih tidak berpihak kepada mereka.  Jumlah perempuan yang menempati posisi penting masih kalah jauh dengan kaum lelaki, hal ini ternyata menjadi catatan tersendiri dalam laporan World Bank. 

Catatan World Bank menyatakan meskipun secara gender pendidikan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang lebih baik, tapi membutuhkan kerja keras untuk lebih baik lagi.  Beberapa persoalan yang masih terjadi yaitu angka putus sekolah yang masih tinggi, dan isu perempuan yang putus sekolah di Indonesia masih didominasi karena pernikahan (dinikahkan), mengurus rumah tangga (membantu orang tua),  dan pendidikan hanya sebagai penunjang saja.  Masih dalam laporan yang sama, pendidikan di Indonesia masih ditandai dengan  tingginya tingkat perisakan, baik pada laki-laki maupun perempuan.  Namun jenis perisakan pada perempuan didominasi masih terjadinya kasus-kasus pelecehan seksual.  Hal ini tentunya sangat mengganggu, menyangkut masa depan kaum perempuan.

Seperti diuraikan dalam pengantar awal, kegemilangan perempuan saat di sekolah ternyata juga tidak berbanding lurus dengan keberhasilan mereka di dunia karir.  Bahkan di dunia pendidikan, baik yang berada di bawah Kemendikbud maupun Kemenag jumlah perempuan yang menjadi pimpinan sekolah masih jauh jumlahnya dibandingkan dengan kaum lelaki.  Apakah ini pilihan mereka kaum perempuan atau sistem yang ada yang masih bersifat patriarki?

Untuk menjawab persoalan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari adat kebiasaan termasuk juga tuntunan keagamaan yang sangat berpengaruh besar pada keputusan seorang perempuan.  

Pilihan Klasik: Karir atau Berumah Tangga?

Ini pilihan sulit bagi perempuan atau dibuat sulit.  Mengejar karir atau meniti rumah tangga.  Persoalan ini setidaknya bisa dipetakan sebagai berikut:

  1. Berkejaran dengan usia, ketika perempuan melewati masa usia 30 tahun, ini berkaitan dengan reproduksi.  Reproduksi terbaik adalah di bawah usia 30 tahun.  Di atas 35 tahun sudah usia rawan untuk reproduksi.  Keputusan menikah atau mengejar karir/studi sangat penting dilakukan di awal.  Perempuan adalah manusia merdeka yang berhak menentukan pilihan.
  2. Menikah juga bagian ibadah terpenting, bahkan penyempurna ibadah.  Seorang perempuan dalam agama Islam selama belum menikah adalah tanggung jawab ayahnya.  Kegembiraan orang tua salah satunya adalah ketika melepas anak perempuannya menikah.  Sekali lagi secara hukum perempuan dihadapkan pada pilihan-pilihan ini.  
  3. Ketika perempuan berhasil baik dari segi pendidikan dan karir, persoalan berikutnya juga mengenai kepantasan jodohnya.  Seolah-olah dia harus mendapat jodoh yang lebih tinggi kedudukannya.  Padahal ini dua hal yang berbeda.  Seolah-olah perempuan harus selalu di bawah dominasi lelaki.  

Pilihan-pilihan sulit ini selalu terjadi pada perempuan, bukan pada lelaki.  Hipotesis inilah yang mungkin merupakan jawaban mengapa para perempuan banyak yang berprestasi ketika bersekolah, tetapi begitu memasuki dunia kerja, kesempatan posisi tertentu menjadi milik kaum lelaki.

Memilih Karir yang Aman

Meskipun belum banyak dilakukan penelitian lebih lanjut, tetapi para perempuan banyak memilih karir aman.  Menjadi guru/dosen, bidan, perawat atau profesi  yang jam kerjanya jelas, sehingga memiliki waktu bersama keluarga.  Memilih profesi ini bukan berarti perempuan ingin santai karena pada kenyataannya peran ganda mereka tetap lebih berat daripada yang dilakukan seorang lelaki.  Selain ikut mencari nafkah, mereka tetap harus menyiapkan segala sesuatu pekerjaan di rumah, hanya saja masih memiliki waktu yang lebih baik daripada mengejar karir di luar profesi tadi.  

Dalam banyak kasus, perempuan tidak bekerja (sektor publik), tetap lebih sibuk dibanding kaum lelaki.  Seorang teman bercerita, ketika ayahnya masih memiliki jabatan, justru jauh yang lebih sibuk adalah ibunya.  Arisan kantor, dharma wanita, peresmian sebagai istri pejabat, belum lagi persiapan dandannya yang lebih repot dan lama.

Ketika ibu rumah tangga dianggap bukan pekerjaan, inilah pokok pangkalnya, sehingga terkadang penghargaan penghormatan kurang diterima oleh kaum perempuan, padahal mereka tidak mengenal jam kerja dan setiap saat harus siap.  Orang menganggapnya sebagai kewajiban bagian dari proses sesudah pernikahan.  Bayangkan ketika seorang ibu melahirkan, punya anak 3 saja, maka waktunya selama 6 tahun dihabiskan untuk menyusui anak-anaknya, sampai kemudian masa disapih.  Belum rasa sakit yang sangat luar biasa ketika melahirkan.  Terbayang ibu saya yang memiliki 10 anak.  Salam hormat dan doa tak terputus buat ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun