Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Akankah Pilkada 2020 Tanpa Politik Transaksional?

5 Juli 2020   07:33 Diperbarui: 6 Juli 2020   06:07 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kotak suara. (sumber: KOMPAS)

Dalam konteks Pemilihan Legislatif (Pileg) sebetulnya sangat memungkinkan anggota legislatif terpilih tanpa politik transaksional. Caranya adalah berkumpul beberapa caleg yang baik dalam sebuah partai dan akumulasi suara orang baik akan terpilih 1 kursi, 2 kursi dan seterusnya. 

Tetapi dengan catatan internal partai kuat, satu rasa dan satu tujuan. Konflik internal caleg membuat mereka berkompetisi sehingga melakukan transaksional untuk mengalahkan competitor internal. 

Jadi, kompetisi internal lebih kuat dibandingkan keluar partai. Hal itulah konsekuensi internal partai yang harus diperbaiki. Kalau satu caleg saja yang bekerja dalam sebuah partai tanpa politik transaksional sangat sulit. Tetapi, jika semua caleg di satu Daerah Pemilihan (Dapil) bekerja tanpa politik transaksional sangat memungkinkan terpilih.

Bagaimana dengan peluang Gubernur/Walikota/Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah yang terdiri dari Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur 9, 224 Bupati/Wakil Bupati dan 37 Walikota/Wakil Walikota tanggal 9 Desember 2020.

Dalam konteks Pandemi 2020 ini dibutuhkan kesadaran tingkat tinggi masyarakat akan dampak kualitas pemimpin hasil politik transaksional. Pemimpin produk politik transaksional menghasilkan stres politik internal dan eksternal.

Di internal terjadi tangih menagih dari pendukung terutama pemberi dana untuk kebutuhan kampanye dan hampir tidak mungkin program berjalan dengan baik.

Tidak akan ada kreatifitas untuk membangun dengan politik transaksional. Kecuali politik transaksional yang dianggap amal jariah. Jika dana politik itu dianggap amal jariah, maka sangat memungkinkan juga pembangunan dilaksanakan secara kreatif dan inovatif. Mengapa?, karena dana yang habis ketika kampanye dianggap sebagai kegiatan sosial dan kemudian bangkit untuk maju.

Istilah kerennya amal perbuatan dan hasil pertobatan. Walaupun bisa juga dimaknai politik cuci uang (money loundring). Kondisi kita sekarang memang akumulasi dosa yang sudah lama. Pilihan politiknya serba sulit. Menegakkan nilai yang ideal dalam kondisi akumulasi perbuatan yang salah sangatlah sulit.

Di tengah pilihan serba sulit karena pemilih acapkali menyebut tidak ada pilihan yang berkualitas. Pemilih biasanya menyalahkan partai politik karena menyuguhkan calon yang tidak bermutu. Partai Politik sangat realistis untuk menang. Partai politik menyadari urgensi pemimpin yang berkualitas untuk mensejahterakan rakyat tetapi untuk apa pula menyodorkan calon yang berkualitas jika tidak terpilih?

Partai politik biasanya menggunakan hasil survey, walaupun mungkin masih ada Parpol mendukung calon yang memberikan uang paling banyak. Partai politik yang masih mendukung uang paling banyak, biasanya akan tenggelam.

Parpol yang menerima calon pemberi uang terbanyak disubut Parpol kumuh. Partai politik pada prinsipnya merekomendasikan yang berkualitas tetapi juga memiliki isi tas atau jumlah angka di rekening. Realita bahwa kita membutuhkan biaya politik (cost politic).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun