Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keseimbangan Baru (Normal) dan Siasat Pemanasan Global

28 Mei 2020   11:11 Diperbarui: 28 Mei 2020   11:10 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KESEIMBANGAN BARU PASCA COVID 19 DAN PERSIAPAN  GLOBAL WARMING

Sebelum pandemi  Corona Virus Disease (Covic 19)  merebak, hal yang paling menakutkan bagi dunia adalah pemanasan global (global warming).  Dunia  sulit menghentikan  aktivitas manusia untuk memberi kesempatan kepada bumi untuk  bernafas. Covid 19 datang  membuat  seluruh dunia memproklamasikan diri  agar tinggal di rumah (stay at home). Kekuatiran dunia akan ancaman pemanasan global (global warming)  belum terjadi, pandemi Covid 19 mengancam dunia. Negara-negara maju yang teknologi kedokterannya canggih pun dibuat tak berkutik.

Berbagai literatur  mengatakan bahwa dampak pemanasan global  adalah  cairnya es di Kutub Utara  yang mengakibatkan permukaan laut meningkat yang mengakibatkan pulau-pulau kecil akan tenggelam, kekeringan dan banjir di wilayah pertanian yang mengakibatkan tanah tanah pertanian akan rusak. Kerawanan pangan akan mengancam manusia  di kolong langit ini. 

Kerawanan pangan akan semakin meraja lela karena pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim. Serangan hama tidak terkendali karena perubahan iklim. Berbagai macam  dampak akibat pemasan global. Karena itu, dunia  terus menerus berusaha menekan terjadinya pemanasan global (global warming).

Ketika Covid 19 datang, reaksi manusia tanpa mepertimbangkan ancaman pemasan global yang sebenarnya lebih tragis dari ancaman Covid 19.  Pemanasan global  (global warming) mengancam umat manusia di kolong langit ini, tetapi ketika Covid 19  yang mampu menghentikan manusia berhenti beraktivitas mengeksploitasi  bumi, respon umat manusia  adalah penggunaan disinfektan dari bahan kimia  yang berlebihan, hand sanitizer juga mengandung  bahan kimia dan detergen. 

Reaksi cepat manusia  ke Covid 19 adalah membebani bumi dengan bahan-bahan kimia yang mencemari udara, air dan tanah. Hampir tidak ada usaha meminimalisasi penggunaan bahan kimi yang membebani bumi, atau memilih bahan kimi yang lebih ramah lingkungan pun tidak berusaha. Manusia fokus membunuh Covid 19 tanpa memikirkan dampak lingkungan.  Sikap kita selalu pragmatis  yang selalu membebani bumi. Demikian juga kebutuhan seharihari yang serba online yang mengahsilkan sampah yang luar biasa akibat bungkus belanja online dan pesanan  makan cepat saji dari online. Belanja online tidak sedikitpun memikirkan beban lingkungan.

Covid 19 memang berbahaya, tetapi dari pernyataan organisasi kesehatan dunia  World Health Organization (WHO) yang mengatakan cara mencegah adalah tidak berkerumun, jaga jarak, tidak bersalaman atau bersentuhan dengan pihak lain. Untuk lebih optimal memutus rantai penyebaran Covid 19  disepakati untuk tinggal di rumah (stay at home). Jika semua kita disiplin, maka penyebaran Covid 19 segera berakhir. Disiplin cara yang paling ramah lingkungan. Menggunakan disinfektan akan memunculkan masalah baru bagi tanah, air dan udara. Juga bagi kesehatan manusia  itu sendiri.

Covid 19 sejatinya dijadikan sebagai momentum penting untuk menyelamatkan bumi. Covid 19 telah nyata menghentikan eksploitasi  Sumber Daya Alam (SDA) di hutan, laut dan daratan seperti hutan. Polusi udara, khususnya di kota-kota besar di dunia  berkurang secara tajam. Covid 19 juga menyadarkan kita betapa rapuhnya kita selama ini dalam hal ketahanan pangan. Padahal, ancaman pemanasan global telah  kita ketahui akan ancaman rawan pangan. 

Para pakar pangan di berbagai Universitas, aktivis lingkungan dan berbagai elemen masyarakat s  di negeri ini telah  berteriak akan ketahanan pangan kita.  Ketahanan pangan bisa  kuat jika  hasil pertanian lokal kita  kuat. Semua komponen menyepakati itu. Tetapi pemerintah selama ini membiarkan mekanisme pasar. Mekanisme pasar memporakporandakan hasil pertanian lokal kita.

Ketika Covid 19 datang  pemerintah mengambil kebijakan  pelarangan  impor daging    dari   RRC. Di sisi lain kita butuh  daging  kerbau dan sapi untuk  kebutuhan dalam negeri selama beberapa bulan kedepan.  Dalam  Rapat Dengar Pendapat (RDP)  Komisi VI DPR RI  dengan Bulog  pada tanggal 21 April 2020   bahwa daging tersedia 97.000 ton, sementara  Kemendag   memiliki 106.078 ton.  Berdasarkan data Ketahanan  pangan  Kementerian  Pertanian  kebutuhan daging kerbau/sapi  686.000  ton.  

Jika bagi dalam sebulan kita butuh 50.000 ton daging.  Sebelum terjadi Corona  produksi daging dalam negeri  hanya  499.412 ton. Dalam kondisi ini tidak ada pilihan pemerintah selain impor daging. Jika daging mau diimpor dari luar negeri tidak ada akibat Covid 19, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah?.  Pemerintah akan bingung. Inilah konsekuensi ketergantungan kita akan impor selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun