Pemerintah merupakan obligasi dari negara untuk memainkan perintah eksekutif dalam rangka mewujudkan kepentingan publik. Artinya, pemerintah bukanlah penguasa, melainkan pelaksana. Agama dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia merupakan sesuatu yang mendasari berdirinya negara Indonesia. Karenanya, obligasi pemerintah tidak dapat melebihi dari obligasi agama.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah sebagai wakil negara tidak memiliki kapasitas untuk mengatur agama. Ia hanya menjadi eksekutor dari keputusan negara tentang agama. Karenanya, perintah menteri, bahkan presiden sekalipun terhadap kelangsungan hidup beragama merupakan bentuk pelanggaran mendasar.
Segala keputusan pemerintah terkait dengan agama harus didasari oleh eksistensi kehidupan bernegara. Tugas melawan radikalisasi bukanlah alasan untuk melakukan intervensi. Apalagi cuci tangan dengan menyalahkan agama. Radikalisasi terjadi karena kegagalan peerintah memerankan fungsi eksekusi. Jadi menteri tidak boleh memperalat mata kuliah agama yang notabene domain tugasnya untuk kepentingan program radikalisasi. Urusan mata kuliah di semester awal atau akhir merupakan wilayah kepentingan kurikulum semata.
Semoga semua pihak menghormati eksistensi kehidupan bernegara di Indonesia. Suka tidak suka, agama merupakan pihak yang ikut serta berkompromi dalam lahirnya negeri tercinta. Sehingga pemerintah hati-hati dalam mengambil kebijakan tentang agama. Jangan sampai pemerintah saat ini berubah menjadi penguasa. Jika itu yang terjadi, maka apalah artinya perayaan hari Pancasila, apalah artinya slogan ke-Bhinnekaa an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H