Oleh Gunoto Saparie
Senin malam, 29 September 2025, pukul 22.08. Di RSUD Pasar Minggu, Jakarta, sebuah hayat berhenti. Hermien Y. Kleden, seorang jurnalis senior di Tempo, meninggal dunia.
Ada yang datang dengan berita lirih itu: kepergian seorang yang namanya terikat pada kata-kata, pada kritik, pada keberanian untuk mengatakan yang lain. Bukan sekadar kabar duka, melainkan tanda bahwa satu suara yang kritis, yang jernih, telah padam dari tubuh manusia---meski mungkin tidak dari kesadaran kita.
Hermien dikenal sebagai seorang pemikir kritis. Ia berani menyoal, menggugat, dan mengurai dengan cara yang tak pernah dangkal. Dalam dunia kritik sastra, suaranya menghadirkan sesuatu yang jarang: ia bukan hanya bicara tentang teks, tetapi juga tentang dunia yang melatari teks itu. Ia membaca karya sastra seperti membaca kenyataan, sebuah kenyataan yang penuh luka, ketidakadilan, tapi juga harapan.
Di situ kita melihat: bagi Hermien, kritik bukan sekadar soal estetika. Kritik adalah percakapan dengan kebenaran. Kritik adalah usaha untuk melihat apa yang disembunyikan, apa yang terlupakan, apa yang dipinggirkan.
Wawasan kritis Hermien lahir dari kesetiaan pada pembacaan yang jujur. Ia menolak untuk menjadi sekadar akademisi yang dingin, atau pengamat yang netral. Dalam dirinya, kritik selalu berpihak. Dan keberpihakan itu jelas: pada korban, pada perempuan, pada yang lemah, pada yang dipinggirkan.
Ia sering menyinggung soal keadilan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, hal-hal yang tak jarang diabaikan, bahkan ditertawakan, di dunia yang masih sibuk dengan dominasi dan kuasa. Hermien memandang kritik sastra bukan hanya urusan keindahan teks, tetapi juga etika kemanusiaan.
Di ruang publik, suaranya terdengar tegas. Hermien berbicara dengan bahasa yang lugas, kadang tajam, tetapi tidak pernah kehilangan empati. Ia percaya bahwa komunikasi publik bukanlah panggung untuk pamer kepandaian, melainkan sarana untuk menguatkan yang rapuh.
Dalam jurnalisme, ia mendorong etika yang sederhana namun sering terlupakan: berpihak pada korban, pada kebenaran, pada keadilan. Sebuah etika yang tidak populer di tengah arus berita yang sering lebih menyukai sensasi daripada substansi.
Hermien seakan ingin mengatakan: kata-kata hanya berguna jika ia mampu melindungi yang lemah.