Mohon tunggu...
Gunoto Saparie
Gunoto Saparie Mohon Tunggu... Penulis

Sastra dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Selamat Jalan, Pipiet Senja

30 September 2025   22:00 Diperbarui: 3 Oktober 2025   12:27 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pipiet Senja. (Dokumentasi pribadi Pipiet Senja)

Oleh Gunoto Saparie

Ketika kabar berpindah lewat senter telepon atau pesan singkat, bahwa Pipiet Senja telah meninggalkan dunia ini, sesuatu berhenti di dalam dadaku. Bukan karena ia seorang penulis senior sebagai penghuni daftar "besar", melainkan karena ia menapak hidup dengan luka, dan menuliskannya dengan keagungan lirih yang sering dilupakan: keberanian yang diam-diam.

Jika kita membayangkan sebuah senja sebagai masa peralihan: terang mengendap, gelap merangkak, maka nama Pipiet Senja adalah fragile sekaligus berlapis-lapis. Pipiet hadir dalam dunia sebagai Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang pada 16 Mei 1956.

Ia kemudian memilih nama pena Pipiet Senja, yang menandakan pertemuan antara makhluk kecil (pipit) dan waktu penghabisan (senja), sebuah nama yang menegaskan bahwa ia tahu: kehidupan akan selalu mengantarnya ke titik akhir.

Kehidupannya bukanlah perjalanan ringan. Ia adalah penyintas thalassemia; setiap bulan, transfusi darah menjadi ritus wajib, tak kenal jeda.

Penyakit itu bukan sekadar bayang-bayang di belakangnya; ia menjadi teman sekaligus tantangan, seorang musuh yang harus dipahami, dinegosiasi, dan kadang diacuhkan agar ia tetap bisa menulis.

Banyak orang menyangka, atau berharap, seorang pemikul penyakit seperti itu akan menyurut dalam berkarya. Namun Pipiet berpijak di arah yang berlawanan. Baginya, menulis bukan sekadar karya, melainkan ruang hidup, tempat perlawanan senyap terhadap kehampaan dan kemustahilan.

Ia menulis sejak muda, memulai dari puisi yang dikirim ke radio-radio di Bandung. Kemudian ia merambat ke novel, cerpen, cerita anak, memoar, hingga tulisan motivasi. Ribuan cerpen dan ratusan novel tercatat sebagai bagian dari jejaknya. Di antara karya-karyanya yang dikenal: Lukisan Rembulan, Menggapai Kasih-Mu, Namaku May Sarah, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Merah Jenin: Kado Cinta untuk Palestina, Meretas Ungu, Langit Jingga Hatiku.

Dalam catatan perjalanan kreatifnya, Pipiet pernah menulis puisi "Jika Aku Pergi Jua" sebagai semacam wasiat, bahwa ia menyadari batas, bahwa hidup adalah rentetan kerangka waktu yang akan tiba-tiba ditutup. Naluri seorang seniman sekaligus manusia sakit itu bercampur: ia meneguhkan bahwa jika saatnya tiba, biarlah senyuman dan kenangan menjadi penutupnya, bukan ratapan yang panjang.

Ia menularkan virus menulis ke mana-mana: ke penulis-penulis muda, ke TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hong Kong, Malaysia, Taiwan, Singapura, bahkan ke luar negeri. Dalam panggung-panggung literasi dan seminar, ia tidak sekadar tampil sebagai pamflet karya, melainkan sebagai saksi bahwa tulisan bisa menjadi untaian harapan dalam kesakitan.

Goenawan Mohamad sering menyingkap kata-kata gelap dalam kesunyian, kadang satu frasa kecil menegaskan lebih daripada pernyataan besar. Dalam mengenang Pipiet Senja, kita pun butuh diam itu. Diam agar ingatan tidak tergesa membingkai kehidupan dengan klise "pahlawan" atau "pejuang".

Sebab kenyataannya, Pipiet pernah melewati musim patah: rumah tangga yang sempat berantakan, ia menjalani peran sebagai kaum tunggal untuk membesarkan anaknya, sambil melawan nyeri tubuh dan lembur malam di meja tulis. Di tengah kenyataan rumah tangga yang tak bak surga, ia tetap menulis: karena tulisannya adalah ruang bernapas.

Ada fragmen cerita bahwa di saat sangat miskin, ia mengumpulkan koran bekas, menelusuri kota mencari tukang loak agar bisa mendapat sedikit uang untuk lauk dan kebutuhan harian.

Dalam kegetiran itu, ia tidak berhenti memberi: pakaian, bimbingan, dorongan kepada mereka yang sedang menulis. Itu adalah luka yang dibalut ketulusan kecil demi kelangsungan kata. Saat ia meninggal, kita tidak kehilangan nama besar saja, melainkan kehilangan saksi bahwa kesakitan pun bisa menjadi pangkalan untuk menyulam kata, bukan lari darinya.

Dalam biografi-biografinya disebutkan bahwa Pipiet telah menulis lebih dari 200 buku yang diterbitkan (dengan banyak karya lainnya yang tersebar di media massa). Bahwa ia menjelajah Indonesia dan bahkan ke luar negeri, menyebar gagasan literasi dan memberi semangat kepada penulis pemula di berbagai pelosok.

Ia tinggal sebagai teladan penting: bahwa menulis itu bukan kemewahan, melainkan kebutuhan roh. Sebagian besar karyanya mengangkat tema kasih, perempuan, perjuangan batin, spiritualitas, persoalan internal yang sering dihindari oleh sastra besar yang terburu pada tema besar politik, konflik luar, atau eksistensi megah. Pipiet menulis dari ruang hati, dari darah yang lelah namun tetap memanggil kata.

Kenangan akan Pipiet Senja harus disimpan tidak sebagai monumen yang kaku, melainkan sebagai api pendamping yang menodai keheningan kita. Setiap penulis muda yang masih ragu, semoga membaca riwayatnya dan berkata: "Jika ia bisa menggores kata dari meja infus, maka aku bisa mengeja harapan dari meja pena."

Dan ketika generasi berikutnya bertanya: "Siapakah Pipiet Senja?", tolong sampaikan bukan jutaan jualan bukunya atau popularitas semata, tetapi: bahwa ia adalah "orang yang mencintai sisa hari", yang menolak diam walau tubuhnya meratap, yang memilih huruf demi huruf sebagai peta penantian.

Kadang saya membayangkan senja pipit-pipit kecil menerbangkan kata-kata ke langit awan malam. Di sana, di ujung cakrawala, entah dalam lorong antara bumi dan langit, suara-suara Pipiet mungkin masih berdengung: ayat-ayat kecil untuk anak-anaknya, untuk para pembaca, untuk penulis yang takut melangkah.

Semoga perginya ia ke alam lain menjadi pintu rindang, agar kita yang di sini tidak lupa: bahwa kata adalah doa yang tak pernah sampai. Namun diupayakan. Dan mereka yang menulisnya, dalam senja terakhirnya, hakikatnya adalah peziarah yang menunggu senja abadi.

Selamat jalan, Pipiet Senja. Semoga di sana engkau menemukan udara yang tidak perlu transfusi, kertas yang tidak berlumur darah, dan ruang waktu yang melayanimu dalam keabadian kata. Dan bagi kami yang tertinggal: semoga jejakmu tetap bergegas di pena kami, meski lentur, meski rapuh, meski senja.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun