Oleh : H. Gunadi Kasnowihardjo
Air sebagai sumber kehidupan selalu akan diupayakan oleh manusia baik untuk kepentingan manusia itu sendiri ataupun untuk kehidupan makhluk lainnya terutama tumbuh – tumbuhan. Di daerah – daerah yang kesulitan air akan tetapi termasuk areal yang cukup subur, untuk memenuhi kehidupan tanaman produksi di daerah tersebut maka perlu diupayakan adanya suplai air. Terlebih apabila daerah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan lahan perkebunan yang menghasilkan barang komoditi seperti misalnya gula. Setelah bangsa Belanda menguasai Pulau Jawa, maka banyak dibangun pabrik dan perkebunannya untuk daerah Jawa Tengah yang paling banyak adalah pabrik gula dengan perkebunan tebunya. Pada saat itu pulalah Belanda banyak membangun saluran irigasi yang mampu mensuplai air ke daerah – daerah yang kesulitan air. Saluran air irigasi yang dibangun pada masa kolonial Hindia Belanda tersebut oleh masyarakat kita dikenal dengan sebutan jolontoro atau ada juga yang menyebut plumpung banyu. Kata jolontoro sangat dekat dengan kata jaladwara bahasa Jawa Kuna yang berarti jalan air atau saluran air, sedang kata plumpung banyu adalah kata dari bahasa Jawa Baru yang artinya adalah pipa saluran air.
Salah satu saluran air yang dibangun oleh Belanda yang disebut Jolontoro atau Plumpung Banyu ditemukan di Dusun Padanjero, Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sebagian warga masyarakat dari kalangan usia 60 tahun ke atas masih menyebutnya jolontoro atau plumpung banyu, sedangkan warga masyarakat dari generasi muda mereka menyebutnya Benteng Irigasi buatan Belanda. Jolontoro yang ditemukan di Dusun Padanjero ini memanjang Utara – Selatan sepanjang kira – kira 700 meter dan saat ini sudah tidak utuh lagi yaitu bagian ujung Selatan yang terhubung dengan sungai Kali Randukucir dan sebagian dekat diujung Utara sudah terputus. Bangunan saluran air ini dibuat dengan konstruksi batu dan semen tanpa plesteran tebal dinding 100 Cm, tinggi bervariasi antara 0.2 di ujung Utara dan 3 meter di ujung Selatan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kontur lahan di lokasi tersebut tidak sama yaitu bagian Selatan lebih rendah dari pada bagian Utara. Diatas dinding setebal 1 meter tersebut dahulu ditempatkan plat besi berbentuk kanal U untuk mengalirkan air yang dipompa dari sungai Kali Randukucir. Berdasarkan salah seorang petani warga Desa Randusari yang sempat diwawancarai penulis menjelaskan bahwa jolontoro ini mampu mengairi lahan perkebunan dan persawahan yang ada di Desa Randusari dan Desa Joho serta desa – desa lain disebelah timurnya.
Belanda membangun Jolontoro di antara Desa Randusari dan Joho, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini terkait dengan program penanaman perkebunan tebu yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan produksi gula yang pabriknya ada di Gondangwinangun, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten tidak begitu jauh dari kedua desa Randusari dan Joho. Bangunan saluran air yang dibangun pada masa kolonial seperti ini ditemukan juga ditempat lain seperti di daerah Sleman. Yogyakarta kira – kira 1 Km sebelah Barat Terminal Bus Jombor. Di Rawa Jombor Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Jolontoro yang dibangun tahun 1800 an dengan membuat terowongan di bawah tanah sehingga saluran air tersebut dapat menghubungkan antara Rawa Jombor di Desa Krakitan dan lahan di Desa Jotangan yang terbatasi oleh Gunung Pegat. Sejak kira – kira tahun 1960 an Jolontoro – Jolontoro tersebut mulai tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, lebih – lebih seperti kasus yang di Desa Joho, Prambanan yang memerlukan beaya operasional, pemeliharaan dan perawatan mesin genset yang bekerja menaikkan air dari sungai ke saluran air.
Beberapa jolontoro di atas sekarang sudah tidak lagi menjadi dambaan dan harapan baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya bahkan cenderung untuk dirusak karena adanya kepentingan lain. Plat besi/baja kanal U yang ditempatkan di atas dinding sebagai saluran air yang berada di Dusun Padanjero, Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Klaten sudah lama tidak berada di tempatnya, kemungkinan besar diambil oleh orang – orang yang membutuhkannya. Tidak difungsikannya Jolontoro di Desa Joho ini karena pada tahun 1960 an dibangun Bendungan Soronayan di Desa Nangsri, Kecamatan Manisrenggo yang terletak di Utara Desa Joho dan berada pada kontur yang lebih tinggi, sehingga air dari bendungan inilah yang akan mensuplai kebutuhan air irigasi untuk Desa Joho, Randusari dan desa – desa lain disekitarnya. Sedangkan tidak berfungsinya jolontoro yang ditemukan diantara Rawa Jombor, Desa Krakitan dan Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klatendisebabkan karena volume air Rawa Jombor yang semakin menyusut, sehingga tidak mampu lagi mencapai permukaan saluran air tersebut. Jolontoro yang berada di pinggir jalan antara Jombor -Cebongan, Sleman, Yogyakarta sebagian besar sudah hilang dibongkar karena untuk kepentingan lain seperti untuk akses jalan ataupun untuk dibangun kios.
Kebutuhan akan saluran air yang dapat menghubungkan antara satu tempat dengan tempat yang lain agar kebutuhan air dapat tercukupi adalah kebutuhan yang universal, dan diulai sejak manusia mengenal teknologi irigasi. Di negara – negara lain teknologi membuat saluran air seperti jolontoro baik yang dibangun dengan konstruksi seperti jembatan maupun dengan membuat terowongan bawah tanah telah dilakukan jauh sebelum Belanda dan orang – orang Eropa datang ke bumi Nusantara. Beberapa contoh saluran air yang konstruksinya mirip dengan jolontoro di Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Klaten antara lain seperti yang dibangun oleh bangsa Romawi ribuan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih terpelihara dengan baik, sehingga selain sebagai bukti sejarah juga menggambarkan betapa hebatnya bangsa tersebut dalam melestarikan tinggalan budayanya. Demikian pula beberapa contoh saluran air bawah tanah seperti jolontoro yang ditemukan di antara Desa Krakitan dan Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klaten ditemukan pula di Cina, Syria, dan Yerusalem.
Jolontoro, saat ini hanyalah saksi bisu dan tulisan tentangnyapun hanyalah sebuah pancingan bagi para ahli arkeologi kolonial terutama yangmemfokuskan tentang sistem pengairan ataupun irigasi yang berkembang pada saat itu. Data di atas sekedar contoh, beberapa kasus lain masih banyak dan ditemukan dibeberapa tempat baik di Jawa maupun di luar Jawa, mari kita selamatkan dan kita teliti, preserve by research sebelum semuanya punah ditelan waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI