Kali ini berbeda dengan momen hari raya ditahun sebelumnya, sebuah patahan dari pengulangan yang dialektis, berhari raya di Kota Surakarta dan tanpa hangat kehadiran keluarga yang sedarah.Â
Rasa-rasanya cukup biasa saja karena akhir-akhir ini mendalami sifat-sifat stoa yang kompatibel dengan rumus hidupku, tak hanya menghadapi masalah-masalah yang wajar saja, kini stoa menjadi sedikit peganganku dalam menghadapi realita berlebaran di kota perantauan ini.
Alasan yang paling jujur memang karena sebuah pekerjaan, menjadi seorang tukang masak di restoran yang profesional membuat pengulangan momen hari raya yang secara dialektis terpatahkan.Â
Tentu saja sepi sunyi menjadi teman untuk menulis sebuah esai tak jelas ini. Rasa-rasa menulis begitu kuat setelah pulang kerja jam satu dini hari, juga ditemani kucing milik pacarku yang dititipkan padaku, tak lupa sebelum menulis aku memberi makan carli si kucing yang gembul dan suka makan itu.
Sebelumnya aku mau berterimakasih dulu kepada Mbah Zeno yang lahir pada tahun 334 sebelum masehi, umur yang terpaut sangat lama sekali denganku yang lahir di abad dua puluh ini, juga lokasi lahirnya yang di Yunani jauh sekali dengan kota tempatku lahir, tapi ajaranya masih membekas dalam benak bawah sadarku.Â
Sebuah ajaran tentang Stoikisme yang begitu dialektis dalam munculnya ide itu. Sebuah arti teras atau beranda tempat Zeno dan murid-muridnya merenungkan ide stoa yang berhilir kepada kebahagiaan dengan segala dialektisnya
Entah sebuah ngelem-ngelem kepada diriku sendiri atau memang begitu adanya, diriku suka berdiam merenung di teras belakang rumah yang selalu sepi karena hanya beranda belakang rumah bekas kandang ternak yang sudah tak terpakai.Â
Sebuah kedamaian saat sendiri di beranda itu dan hanya memandangi pohon-pohon yang tumbuh di belakang rumah, tapi kukira berbeda dengan Mbah Zeno yang merumuskan sebuah kesadaran dan diriku hanya menikmati sepi sunyinya saja tanpa kesadaran tersebut.
Kemudian kurang lebih dua bulan dari tulisan ini ditulis, kebetulan sering mendalami teori stoikisme ini yang syarat dialektisnya begitu menancap diotaku, kuberharap kesadaran stoa ini lebih terkenang lagi dalam bawah sadarku dan menyelubungi segala aktifitas keseharian dan ekspektasi masa depan.Â
Sebuah hal yang tak bisa kita kontrol seperti pada momen hari raya ini yasudah kita terima saja dengan penuh kebahagiaan. Mensyukuri semuanya karena memang sudah seperti ini jalanya, dan pertimbangan yang cukup adil bagiku tapi tidak dengan kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku, dalam doaku semoga semua mengerti akan dialektika yang maha dialektis ini.
Surakarta, 02.27 WIB. Â Senin, 2 Mei 2022