Mohon tunggu...
Guna Mandhasiya
Guna Mandhasiya Mohon Tunggu... Industrial System Engineer and Data Scientist

🎓 Teknik Industri UI | Matematika UI 📌 Pemerintahan | Kebijakan Publik | Data

Selanjutnya

Tutup

Financial

Gejolak Ekonomi Indonesia: Dari Hutang Negara Hingga Sulitnya Mencari Kerja

8 Juli 2025   14:57 Diperbarui: 8 Juli 2025   14:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Data Makroekonomi Terkini Juli 2025 menunjukan bahwa tingkat hutang pemerintah menjelang akhir 2024, rasio hutang pemerintah terhadap PDB mencapai 39,2% atau naik dari 38,9% di kuartal sebelumnya dan diproyeksikan menembus 40,1% pada 2025. Inflasi tahunan per Juni 2025 sebesar 1,87%, sedikit di atas ekspektasi, namun masih dalam target BI (1,5--3,5%). Rupiah dan harga global: pelemahan rupiah dan fluktuasi komoditas menjadi tekanan tambahan bagi fiskal dan subsidi.

Pemerintah menambah volume utang untuk menjaga likuiditas. Namun faktanya, sebagian besar digunakan untuk menutup kebutuhan rutin dan beban bunga. Kondisi ini tercermin dalam pertumbuhan rasio hutang menjadi 39--40% PDB, bukan untuk belanja produktif.

Defisit APBN tahun anggaran ini naik menjadi sekitar 2,7% PDB, meski upaya penurunan target ke 2,53% dari 2,7% sempat diajukan. Sementara pendapatan negara sulit mengejar belanja, terutama untuk subsidi dan jaring pengaman sosial. Tekanan dari harga global dan pelemahan rupiah makin menyempitkan ruang fiskal.

Subsidi BBM dikurangi, harga dinaikkan. Langkah ini menekan biaya transportasi dan distribusi. Imbasnya langsung ke masyarakat, yang mayoritas bergantung pada kendaraan umum dan distribusi barang dasar. Kenaikan BBM turut mendorong naiknya harga pangan seperti beras, minyak goreng, dan telur yang sangat rentan terhadap inflasi. Tanpa distribusi efisien dan intervensi tegas, harga terus melonjak. Inflasi yang meningkat, walau masih terkendali, tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Stagnasi besar-besaran terjadi, terutama pada UMKM, pedagang pasar, dan buruh informal hal ini menekan konsumsi domestik.

Lapangan kerja semakin sempit. Tingkat pengangguran terbuka (OUR) turun tipis dari 4,82% ke 4,76% pada Maret 2025, tapi jumlah pengangguran tetap naik dari 7,20 juta ke 7,28 juta orang. Sektor informal mendominasi, menyerap 59,4% angkatan kerja ini sedikit naik dari 59,17% tahun sebelumnya. IMF melaporkan angka pengangguran Indonesia tertinggi di ASEAN di level sekitar 5%. Di sisi lain, World Bank mencatat "unemployment total" hanya 3,3% (estimasi ILO), tetapi ini bisa menutupi fenomena underemployment dan peluang kerja berkualitas rendah.

Program Pemerintah terlihat tapi tidak terasa. Bantuan sosial, kartu sembako, dan pembangunan infrastruktur telah dijalankan. Namun, subsidi makanan cepat habis kalah dengan laju inflasi. Mega proyek infrastruktur belum langsung berefek ke kesejahteraan rakyat bawah. Kemudian hilirisasi industri yang dilakukan lebih banyak menguntungkan korporasi besar, dengan penyerapan tenaga lokal yang terbatas.

Angka makro seperti inflasi dan hutang memang masih terkendali tetapi krisis di hulu seperti tenaga kerja informal dan penurunan daya beli masih membayangi. Ini bukan sekedar krisis, namun alarm bahwa ekonomi kita tidak cukup hanya"tumbuh" di atas kertas. Kita perlu reformasi fiskal untuk memastikan hutang produktif bukan hanya menutupi belanja rutin. Kita perlu program pro rakyat yang tepat sasaran dan berorientasi kebutuhan riil di lapisan bawah. Kita perlu penyerapan tenaga kerja lokal, terutama dari UMKM dan sektor hulu agar pekerja berkualitas tersedia.

Indonesia memiliki kebijakan seperti inflasi rendah, hutang masih di bawah batas aman, dan peringkat kredit stabil. Tapi tantangan sesungguhnya adalah mewujudkan keberpihakan dalam eksekusi agar hutang dan proyek besar benar-benar menyejahterahkan, bukan malah semakin memperlebar kesenjangan. 

Saatnya koreksi arah, dari angka makro menuju keadilan mikro, dari pembangunan elit menuju pemberdayaan rakyat. Semoga tulisan ini dapat mengundang kesadaran yang lebih luas bahwa membangun ekonomi bukan sekedar kuantitas, tapi kualitas kesejahteraan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun