Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pertanian Subsisten dan Sosiologis Petani Manggarai

15 Maret 2021   13:05 Diperbarui: 16 Maret 2021   20:16 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Manggarai. (Dokumentasi Kompasianer/GUIDO)

Di Manggarai, petani merupakan soko guru perekonomian desa. Tapi, pada perjalanannya, pembangunan pertanian acapkali mandeg di tengah jalan.

Ketidak-berjalannya pembangunan pertanian di desa-desa ini tentu saja merupakan diskursus buruk. Hal ini bisa dilihat dari taraf hidup masyarakat, terkhusus para petani yang ekonominya tetap statis misalnya.

Adapun kecenderungan yang lain adalah selama ini petani di pedesaan hanya memfokuskan produksi pertanian mereka untuk sekadar memenuhi dan/atau mencukupi kebutuhannya sendiri, tanpa dipasarkan--untuk menghasilkan uang.

Hal itu kembali dipertegas oleh sebuah idiom lawas petani Manggarai yang mengatakan "tama becur tuka kaut" (yang penting perut kenyang saja).

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, mayoritas desa-desa komunal di Manggarai memosisikan kegiatan ekonomi di bawah kegiatan sosial. Atau dengan kata lain, produktivitas pertanian mereka lebih diorientasikan pada unit sosial (pemenuhan kebutuhan keluarga dan komunitas) dibandingkan unit ekonomi (pemasaran/kapital).

Perilaku ekonomis yang khas dari rumah tangga petani Manggarai seperti ini merupakan sebuah gejala subsistensi karena mereka lebih mengutamakan apa yang dianggapnya aman dan dapat diandalkan, daripada mengejar laba dari penjualan dengan imbalan risiko tinggi pula. 

Bagi mereka tidak masalah. Sekalipun produktivitas pertanian kecil/kisut, yang terpenting adalah keluarga bisa makan dan hidup. Itu saja.

Harus diakui juga bahwa, pertanian subsisten merupakan karakter asli dari pertanian tradisional atau pra-kapitalis. Di mana para petani dibentuk oleh sebuah tradisi yang telah digaris berdasarkan pengalaman nenek moyang/leluhur mereka dalam menentukan jenis bibit, cara menanam, menentukan waktu tanam, dan seterusnya.

Persawahan Lembor, Kec. Lembor, Kab. Manggarai Barat, Flores, NTT. (siru.desa.id)
Persawahan Lembor, Kec. Lembor, Kab. Manggarai Barat, Flores, NTT. (siru.desa.id)

Pertanian Subsisten dan Sosiologis Petani Manggarai

Pertanian subsisten adalah sebuah terminologi yang dikemukakan oleh James Scott. Dijelaskannya, pertanian subsisten merupakan sebuah sistem pertanian yang dalam pelaksanaannya bukan mencari laba/keuntungan, tetapi sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Dengan kata lain, kondisi subsistensi seperti ini diartikan sebagai cara hidup cenderung minimalis dengan melakukan usaha-usaha pertanian sekadar untuk bertahan hidup.

Substensi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat pedesaan tersebut merupakan salah satu ciri dari ekonomi tradisional. Dikenal juga dengan autarki (sistem ekonomi tertutup).

Masyarakat, dalam hal ini petani, mampu memenuhi kebutuhan yang terbatas pada kebutuhan untuk sekadar hidup, baik pada level pribadi atau komunitas dan kepentingan ekonomi, sosial maupun budaya-- pada saat upacara adat.

Di dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Manggarai, misalnya, terdapat kebudayaan agraris yang sudah mengakar dan/atau integral dengan kehidupan petani di pedesaan. 

Faktor kebudayaan ini pulalah yang pada dasarnya turut membentuk cara pandang maupun etos kerja masyarakat. Bahkan hadir sebagai energi komunal/kolektifitas.

Sejauh ini pula, ada kecenderungan masyarakat di desa-desa di Manggarai tidak akan mentolerir adanya diferensiasi ekonomi dan sosial antarindividu yang satu dan yang lain.

Contoh konkretnya ialah pada saat pembagian "tana lingko adak" (tanah kas desa adat). Di mana setiap warga desa masing-masing mendapatkan sebidang tanah. Terlepas dari ukuran luas dan lebarnya. Ihwal setiap individu dianggap menjadi bagian dari masyarakat atau warga komunitas.

Atau dengan contoh lain misalnya. Di mana bila ada sanak keluarga yang sama sekali kekurangan lahan untuk menanam (petani kecil), maka si petani besar (yang memiliki tanah yang besar tak terpakai) dalam komunitas itu akan mempersilakan si bersangkutan untuk menggunakanya. Terlepas dari kontrak kerja bagi hasil atau semacamnya.

Dua contoh di atas merupakan implementasi sosiologis petani (kecil dan besar) di pedesaan yang resiprositas. Dalam hal ini bisa disebut juga "asuransi sosial'.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)
Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Lebih lanjut, wajah pertanian di Manggarai sejauh ini memang, hemat saya, sudah memasuki babak baru. Di mana sudah ada geliat mengkombinasikan pertanian tradisional dengan pertanian modern (punya segmentasi ekonomi, mencari laba).

Dalam artian, produktivitas pertanian tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tapi lebih dari itu untuk dipasarkan.

Meski harus diakui pula bahwa, untuk keluar dari kebiasaan lama dan mencoba hal baru memang membutuhkan waktu cukup lama. Perlu penyesuaian dan/atau adaptasi.(*)

Salam Cengkeh

Pustaka:

James C. Scott, Moral Ekonomi Petani, hlm. 43

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun