Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kompasiana Sebagai Wadah Komunikasi Lintas Etnis

30 Oktober 2020   20:16 Diperbarui: 12 Juli 2021   20:49 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunitas Pencinta Ruteng menggelar kegiatan pengibaran 1.000 bendera Merah Putih pada hari Sumpah Pemuda, Sabtu (28/10/2017) untuk mempromosikan keunikan persawahan Lingko Lodok Meler di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Beberapa hari yang lalu, di tengah obrolan santai dengan bapak di pendopo rumah, saya sempat menceritakan kepadanya seputar dunia blogger Kompasiana

Saya katakan kepada beliau bahwa, Kompasiana itu seperti natas; halaman luas di tengah kampung tempat orang Manggarai berkumpul. Entah itu untuk seakadar ngopi bersama, kongkow bareng dan sebagainya.

Pada dasarnya, selama ini beliau tidak tahu bahwa saya sering mem-posting tulisan di Kompasiana. Yang ia tahu, hobi saya hanya memancing ikan dan sesekali mengkoker bibit cengkeh di belakang dapur. Itu saja.

Banyak yang saya ceritakan pada beliau tentang Kompasiana. Di antaranya diskursus seputar ritual agraris masyarakat adat lintas etnis yang saya baca dalam tulisan Kompasianer, hingga interaksi yang begitu alot antar sesama penulis.

Saya sampaikan, pola kebudayaan agraris masyarakat Manggarai hampir memiliki banyak kesamaan dengan apa yang saya temui dalam komunitas adat Dayak Desa, Batak Toba, Dawan Timor hingga Tanah Karo.

Begitu pula dengan fungsi babi dan tuak sebagai ternak dan minuman adat misalnya. Dari semua kemiripan ritual itu, perbedaannya cuma satu, yakni ihwal sebutannya saja.

Kemarin malam juga, saya sempat mem-print out beberapa lembar tulisan budaya dari Pak Felix, Rm Greg, Eja Neno dan Pak Teo untuk dibacakan oleh bapak. Ya, hitung-hitung untuk mengisi waktu kosongnya semasa pensiun ini.

Setelah membaca tulisan-tulisan itu, respon beliau sangat menarik sembari menyimpan kekaguman atas ragam budaya Nusantara yang dalam praktiknya mempunyai kemiripan. Selebihnya, karena esensi dari ritual-ritual itu bermuara akhir pada Tuhan.

Kompasiana Sebagai Wadah Komunikasi Lintas Etnis

Bukan sekadar chimera tentu saja, ihwal selama setahun lebih mencebur diri di blog ini, yang saya rasakan komunikasi antaretnis begitu sangat menonjol di Kompasiana.

Setidaknya dalam hal ini, saya sepakat dengan proposisi Pak Felix yang menyebutkan bahwa, Kompasiana sudah menjadi wadah pengenalan dan jembatan komunikasi antaretnis.

Meskipun dalam hal ini pihak Kompasiana tidak secara langsung mengklasifikasi dan/atau membuat sebuah peleton berbasis etnisitas, tentu saja. Tetapi memang hakikat ‘media warga’ itu sendiri, menurut saya, memberikan peluang yang besar bagi terbukanya ruang komunikasi.

Dalam beberapa obrolan ide dengan para Kompasianer yang konsisten menelurkan tulisan budaya, kami tiba pada sebuah kesimpulan bahwasannya kebudayaan tradisional itu bukan saja artefak/fosil masa lampau, melainkan masih relevan, kontekstual dan membumi hingga kini.

Dan lagi-lagi, untuk membumikan tradisi lokal itu salah satunya melalui Kompasiana ini.

Tentu saja manfaatnya sangat banyak, selain bertolak dari keinginan untuk memperkenalkan budaya lokal kepada dunia luar, juga untuk mencegah terjadinya pemutusan pengetahuan akan tradisi seiring lintas generasi.

Terkhusus untuk kami di Manggarai, misalnya, pengetahuan akan tradisi itu kami hanya peroleh lewat sekolah lisan (penuturan) para tetua di kampung. Sementara di sisi lain, hal ini tidak didukung dengan banyaknya referensi/sumber bacaan.

Dengan menulis seputar budaya Manggarai saya juga tidak ingin mendaku diri sebagai orang yang paling khatam dengan adat Manggarai. Tidak, tentu saja. Pemahaman saya tentang budaya Manggarai juga, kalau boleh dibilang, hanya seupil.

Apalagi, misalnya, berbicara dalam konteks Manggarai Raya (Barat, Tengah dan Timur) yang secara kedaluan beda lagi. 

Tetapi poin pentingnya adalah sebagai generasi muda yang peduli akan kearifan lokal budaya Manggarai, saya coba mengumpulkan narasi-narasi itu sedikit demi sedikit dalam tulisan sederhana di Kompasiana ini.

Harapanya kelak tulisan-tulisan receh saya di Kompasiana bisa menjadi alternatif transformasi pengetahuan antarsesama kaum muda Manggarai. 

Selebihnya, bermanfaat untuk dibaca oleh rekan-rekan dari komunitas lain yang notabene berbeda budaya.

Ah, cukup sekian dulu curhat saya sore ini. 

Terima kasih Kompasiana sudah bersedia menampung artikel-artikel recehan saya. Terima kasih pula untuk rekan-rekan Kompasianer yang meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya.

Salam cengkeh, salam budaya. Tabe ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun