Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tak Dipanen Sayang, Dipanen Malah Rugi

2 Juli 2020   22:34 Diperbarui: 6 Juli 2020   03:24 2146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon cengkeh yang berbuah dan siap di panen (dok.pri)

Namun, tidak demikian dengan petani cengkeh besar yang nota bene modalnya banyak. Setelah masa panen usai, mereka lebih memilih untuk menyimpan cengkehnya terlebih dulu, sembari menunggu harga yang baik.

Tak Dipanen Sayang, Dipanen Malah Rugi

Panen raya di tengah kisutnya harga cengkeh tahun ini, hemat saya, menjadi sebuah klimaks.

Di mana kalau bunga cengkeh dibiarkan tidak di petik, sungguh kasihan. Nanamnya dulu berdarah-darah dan perawatannya susah setengah mati.

Sementara kalau masih ngotot untuk di petik, kosekuensi logisnya petani merugi. Karena biar bagaimanapun, upah harian buruh petik lumayan mahal. 

Belum lagi untuk biaya konsumsi (makan- minum), uang rokok, transport, dan lain sebagainya selama pascapaneb. Betul- betul dilematis.

Panen raya tahun ini sedemikian menghadirkan dua wajah paradoksal, suatu sisi petani dihadapkan dengan panen raya (baca: pohon cengkeh berbuah lebat). Tetapi di sisi lain, harga cengkeh tidak memberikan nafas harapan.

Fakta di depan mata, sejauh ini memang tidak ada perhatian serius dari punggawa Negara terhadap harga cengkeh yang saat ini melesukan para petani.

Padahal kalau boleh dibilang, pemerintah bisa saja menggunakan instrumen kekuasaannya untuk mengontrol harga cengkeh dipasaran. 

Selebihnya, menjadi mediator antar pengusaha dan petani dalam penentuan pemberlakuan harga komuditas pertanian.

Tetapi ya, begitulah. Ada pun informasi yang beredar kini adalah, pemerintah pusat, melalui Kementrian Pertanian, ingin memperluas areal perkebunan cengkeh.

Saya kira inisiatif pemerintah ini baik, tetapi ada baiknya dibarengi dengan politik dunia usaha (baca: tata niaga pertanian) yang komperhensif dan integratif. Pemerintah juga perlu mengatur standarisasi harga komuditas pertanian yang jelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun