Mohon tunggu...
Go Teng Shin
Go Teng Shin Mohon Tunggu... -

Menulis dengan Data dan Logika.\r\nHobby tertawa, tinggal di Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelajaran Cina Buat Ahok : Berkaca dari Kasus Sumber Waras dan Kampung Pulo

30 Agustus 2015   11:22 Diperbarui: 30 Agustus 2015   11:37 8088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahok dan teman, konco, timses dan tim sosmed, acapkali berjualan betapa Ahok meskipun Cina, tapi cinta Indonesia. Maka tulisan ini bertujuan membahas dua kata ini : CINA, dan CINTA. Contoh yang dipakai tentunya harus kasus yang terkini, yakni kasus Sumber Waras dimana BPK melaporkan bahwa pengeluaran pembelian tanah senilai Rp 800 miliar tersebut selain kemahalan juga penuh dengan pelanggaran, UU dan Pergub ditabrak semua.

Contoh satunya lagi adalah kasus Kampung Pulo, dimana Ahok menggusur warga miskin penghuni Kampung Pulo yang disebutnya penjarah tanah negara dan pengemplang sungai, yang ditengarai marak pelanggaran HAM. Ahok tentu saja tidak terima dibilang melanggar HAM. HAM dalam pengertian Ahok adalah siap membunuh 2000 orang demi 10 juta orang, di luar itu HAM lain adalah HAMburger.

Apabila bicara tentang Sumber Waras, maka tidak bisa lepas dari perkumpulan Sin Ming Hui, yang hari ini kita kenal sebagai Perhimpunan Sosial Candra Naya. Sin Ming Hui didirikan pada tahun 1946 oleh 9 orang Tionghoa yang bekerja di harian Sin Po dan Keng Po. Pada masa Indonesia merdeka masih belum genap setahun, rakyat sangat menderita, oleh karena itu ada cita-cita luhur Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada Indonesia di bidang sosial kemasyarakatan antara lain dengan menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat.

Setelah 10 tahun, cita-cita Sin Ming Hui untuk memiliki Rumah Sakit mulai terwujud.  Pada masa itu, seperti ditulis oleh bapak Tan Kwee Sing di dalam buku Sin Ming Hui : “Sin Ming Hui memang tidak mempunyai banyak uang dalam lemari besinya atau dalam Bank tapi begitu perlu, uang akan datang sendiri, karena apa yang kita kerjakan hanya untuk faedahnya masyarakat dan masyarakat mempunyai mata. Saya selalu anggap Sin Ming Hui ada banyak uang, tapi uangnya hanya disimpan dalam saku semua anggota masyarakat”.

Betul apa yang dikatakan bapak Tan Kwie Sing, karena pada tanggal 31 Januari 1956 uang sumbangan masyarakat yang terkumpul untuk membangun RS Sin Ming Hui mencapai Rp. 1,034,703.07 Penyumbangnya dari berbagai kalangan, ada bapak Tjan Djie Seng yang menyumbang Rp.2,-. Banyak yang menyumbang hanya lima rupiah, sepuluh rupiah, dan penyumbang bukan hanya masyarakat Jakarta saja, namun juga datang dari luar kota seperti Firma Liong Khiun Hin dari kota Pemangkat yang menyumbang Rp. 100,-. Sebuah kota yang jauh di utara kota Singkawang, Kalimantan Barat. Bayangkan, pada saat kantor bank maupun telex di Pemangkat belum ada!

Pada tahun 1956, RS Sin Ming Hui yang kini kita kenal sebagai RS Sumber Waras mulai dibangun di atas tanah yang terletak di jalan Tangerang, yang sekarang kita kenal sebagai jalan Kyai Tapa no.1. Tanah seluas 8ha tersebut menurut sumber di Candra Naya, dibeli dari Ny. janda Oey Han Nio seharga Rp 1/m2 dengan total biaya Rp 80,000. Pendiri Sin Ming Hui dapat membeli tanah tersebut dengan sangat murah karena Ny. janda Oey Han Nio sangat mendukung niat mulia Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada masyarakat. Surat tanah tersebut oleh pendiri sengaja dipecah dua, satu dalam bentuk hak milik an. Perkumpulan Sin Ming Hui dan satu lagi bentuk HGB an. Yayasan Rumah Sakit Sin Ming Hui, dengan maksud agar kelak bila RS menjadi besar, tidak melupakan induknya (sekarang bernama Perhimpunan Sosial Candra Naya.)

Dari buku brosur Rumah Sakit Sin Ming Hui, diketahui bahwa biaya yang dihabiskan untuk mendapatkan tanah tersebut Rp 300.000,- 3x lipat dari harga tanah Rp 80.000. Mengapa? Karena pada saat itu tanah kosong ditempati oleh penggarap, maka diputuskan hak usaha para pengarap diatas tanah tersebut juga harus dibayar. Hampir 3x lipat biaya yang dikeluarkan untuk para pengarap, padahal mereka mengarap diatas tanah yang bukan miliknya. Apakah karena orang-orang Sin Ming Hui tidak mengerti hukum? Tentunya bukan, karena di Sin Ming Hui banyak ahli hukumnya termasuk alm. Meester Yap Thiam Hien. Semua karena tujuan Sin Ming Hui adalah untuk menolong orang miskin bukan tambah memiskinkan, dan mengusir penggarap gelap sama dengan memiskinkan mereka.

Sebelum bicara sebagai orang Cina yang cinta Indonesia, ada baiknya Ahok dan teman-temannya memahami dulu sejarah ini. Pendiri dan anggota Sin Ming Hui, pada masa itu adalah senyata-nyatanya CINA, semua tidak memiliki secarik kertas untuk menunjukkan dirinya WNI. Tidak seperti Ahok dan anak muda Tionghoa teman dan konconya yang sudah punya SBKRI, atau terlahir sudah langsung WNI.

RS Sin Ming Hui kemudian berubah menjadi RS Sumber Waras melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang. Nama Sumber Waras sendiri merupakan nama yang istimewa, singkatan dari ‘Sumbangan Berasal Warga Asing’. Ironisnya hari ini Yayasan dan RS Sumber Waras bisa dikuasai oleh konglomerat Kartini Muljadi, wanita terkaya di Indonesia menurut Forbes. Sebagian dari tanah hasil sumbangan warga Sin Ming Hui untuk pelayanan kesehatan masyarakat itu dijual CASH Rp 755 miliar oleh Kartini Muljadi dan Yayasan, kepada Pemprov DKI yang disetujui Ahok, dibayar dengan uang pajak rakyat di APBD DKI !

Ahok yang bersikeras tidak akan membayar sesen-pun kepada warga Kampung Pulo, apabila mau melihat sejarah Cina benar-benar CINTA INDONESIA seperti para pendiri Sin Ming Hui, bisa berkaca bagaimana pada masa itu, dengan uang sendiri, membayar penggarap gelap di atas tanah RS. Sementara Ahok sebagai pejabat publik, yang sepatutnya adalah pelaksana pasal 34 UU : ‘fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’, menolak menggunakan dana APBD untuk mengganti kerugian dan menyantun warga Kampung Pulo yang sudah turun-temurun hidup di sana.

Ahok memindahkan mereka ke apartemen untuk membayar sewa, setelah membuldozer rumah yang mereka tinggali turun-temurun, setiap Rupiah yang mereka investasikan ke dalam setiap paku dan papan. Apakah yang disebut manusiawi dan tidak memiskinkan, jika hak-hak orang tidak sesenpun dibayar, orang yang tadinya punya tempat tinggal kini diminta membayar sewa seumur hidup?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun