Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Apakah Diriku Sudah Kehilangan Keinginan Duniawi?

5 Desember 2022   07:21 Diperbarui: 5 Desember 2022   07:30 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah Diriku Sudah Kehilangan Keinginan Duniawi? (gambar: sahampemula.com, diolah pribadi)

Keinginan ... oh ... keinginan ... Engkau menyalak dengan kencang di setiap kesempatan, bergemuruh dalam dada penuh tuntutan lobha yang disebabkan oleh moha dan dosa penuh berlumur kebencian.

Begitu banyaknya keinginan kadang dapat membuat kita menderita karena tak terpenuhi. Namun di saat aku ingin menuangkan keinginanku dalam tulisan, tiba-tiba aku tersadarkan ternyata ... "oh ... kok ga ada ya?"

Aku mencoba untuk mengorek-orek benakku mencari keinginan-keinginan yang tersembunyi dan belum terpenuhi, hasilnya nihil. Aku sudah tidak mempunyai keinginan lagi, ach yang benar ... "masa sich ... kok bisa, apa yang salah dengan diriku, apakah aku menjadi semakin aneh lagi? Hidupku seperti air mengalir kalau tidak mau dikatakan seperti robot."

Sebagai manusia, begitu lahir kita sudah dipenuhi oleh keinginan-keinginan yang menuntut pemuasan diri, kita akan menangis apabila lapar dan haus atau disaat kita merasa tak nyaman karena popok kita basah. Pokoknya kita ingin nyaman, senyaman-nyamannya. Selain kebutuhan makan dan minum, kita juga ingin dibelai, disayang oleh keluarga kecil kita, orang tua dan kakak-kakak serta adik-adik kita.

Pada saat usia sekolah, kita menginginkan nilai-nilai yang bagus untuk mengabulkan permintaan orang tua yang telah bersusah payah untuk menyekolahkan kita. Karena aku terlahir dalam keluarga yang pas-pasan maka aku tahu diri untuk meredam semua keinginanku.

Aku menahan liurku melihat teman-temanku jajan, kadang ada rasa sedih dan marah terhadap keadaan. Kalau kurenungkan masa hidupku, seharusnya aku bersyukur, karena walaupun hidup pas-pasan tetapi aku mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari orang tuaku. Karma yang kubuat di masa lalu berbuah cukup manis dikehidupan sekarang, karena hidupku mulus, apa saja yang kuinginan pasti kudapatkan.

Aku dengan mudahnya mendapatkan baju seragam baru setiap kenaikan kelas dari supervisor toko Eropah yang kupanggil Om Tjin Kie. Beliau tidak mempunyai anak, semua keinginanku selalu dipenuhinya, tentu saja sebagai seorang anak kecil aku sudah merasa bahagia jika memakai seragam dan sepatu baru disetiap kelas baru. Sayangnya aku belum dapat membalas budi beliau sudah terlanjur pindah alam.

Aku mewarisi sifat mulia orang tuaku, walaupun kami hidup pas-pasan tapi beliau memberikan contoh untuk peduli terhadap sesame. Ada dua lansia di pasar yang selalu diberi uang setiap bulannya. Aku pernah protes akan hal ini, "lha ... wong anaknya ga dikasih uang jajan malah jajani orang lain." Tetapi ayah bunda menyadarkan aku kalau lansia itu tidak punya siapa-siapa sedangkan aku masih punya orang tua dan keluarga.

Saat itu aku masih belum bisa menerima ajaran orang tuaku maka disaat aku disuruh ke pasar (hal yang paling kubenci) karena menurutku pasar itu bau dan becek. Sebagai bentuk protesku, uang belanja yang seharusnya untuk membeli keperluan bundaku berdagang gado-gado kuberikan kepada setiap peminta-minta yang berjejer di pinggiran pintu masuk pasar. Padahal itu uang modal dagang ... "ha ... ha ... ha, kalau diingat-ingat aku ini nakal juga ya." Tak jarang aku dihukum karenanya sambil diberi nasihat yang menurutku membosankan.

Pada suatu ketika tanpa sengaja pandanganku tertumbuk pada bundaku sedang menggoreng emping dan krupuk dengan peluh di dahinya. Di sampingnya ayahku menggiling berkilo-kilo kacang secara manual untuk bumbu gado-gado, timbul rasa pedih di dada melihat perjuangan mereka. Saat itu aku pun bertekad akan segera mencari kerja agar mereka tidak usah berpeluh lagi. Ini menjadi dasar keinginan yang membara di dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun