Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Jika Umat Buddha Wajib Kremasi?

19 Juli 2022   04:25 Diperbarui: 19 Juli 2022   04:36 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah Jika Umat Buddha Wajib Kremasi? (gambar: latimes.com, diolah pribadi)

Dalam keseharian, kita sering mendengarkan jika umat Buddha meninggal, maka wajib untuk dikremasi. Kenyataannya tidak demikian. Hal tersebut sudah pernah saya tuliskan dalam artikel sebelumnya yang berjudul "8 Miskonsepsi terhadap Agama Buddha."

Secara singkat, manusia menurut agama Buddha terdiri dari 4 unsur, yakni:

Padat/Tanah, yang terdiri dari tulang, gigi, rambut.
Cair, seperti darah, air seni, nanah.
Api/Panas, seperti nafsu, amarah, emosi, semangat.
Udara, seperti bernafas, masuk keluar udara yang kita hirup dan hembuskan.

Dengan demikian, manusia bebas memilih tempat peristirahatan terakhirnya. Apakah dikebumikan (tanah), dilarung ke lautan (air), dikremasi (api), atau diletakkan di atas bukit atau gunung (udara).

Kendati demikian, umat Buddha juga sangat toleran. Selalu mempertimbangkan pesan-pesan dari mendiang, keinginan keluarga, dan/atau kearifan lokal setempat dalam pemilihan tempat peristirahatan terakhir.

Tempat yang paling umum adalah di Taman Pemakaman Umum (TPU). Kemudian disusul oleh kremasi dan dilarung ke laut.

Tapi, ada juga yang lebih unik, seperti contoh kebiasaan beberapa bhikkhu di Thailand. Organ yang masih berguna seperti mata, ginjal, atau jantung didonorkan kepada manusia. Sementara sisa tubuh lainnya didanakan kepada satwa liar. Tujuannya agar tubuh yang tersisa dapat bermanfaat bagi kehidupan.

Apapun caranya, perlu diketahui bahwa umat Buddha telah diajarkan untuk tidak melekat pada rupa (jasmani). Hal tersebut telah disarankan pada saat seseorang masih hidup.

Mengapa demikian?

Pertama, karena umat Buddha harus sadar bahwa kematian itu adalah hal yang pasti. Bahwa segala sesuatu tidaklah kekal (anicca). Yang kedua, melekat kepada rupa (jasmani) hanya akan menimbulkan kekecewaan.

Tidak dilarang untuk berdandan, merawat tubuh, berpakaian bagus, atau membentuk tubuh di gym. Tapi, manusia tetap harus memiliki kesadaran penuh bahwa kelapukan (penuaan) adalah proses alamiah.

Empat proses menuju peristirahatan terakhir kemudian mencerminkan konsep ini. Mereka yang dikebumikan pada akhirnya harus sadar bahwa tubuhnya akan rusak dimakan belatung, yang diarungi ke laut akan dimakan ikan, yang dikremasi, akan hangus terbakar. Semuanya musnah tak berbentuk lagi.

Dengan demikian, berdasarkan kepercayaan agama Buddha, dengan menyadari bahwa rupa (jasmani) tidaklah kekal, maka seseorang akan sangat terbantu dalam proses punarbahya (lahir kembali).

Oleh karena itu, kremasi bukanlah kewajiban, ia hanyalah pilihan.

Tentu saja pertimbangan faktor sosial lainnya juga mempengaruhi, seperti keterbatasan lahan, mahalnya tanah kuburan, atau repotnya anggota keluarga yang harus mengurusi pemakaman.

Tidak ada yang harus atau wajib bagi agama Buddha, semuanya adalah pilihan. Yang terpenting adalah kesadaran diri demi kemajuan batin setiap individu. Bukan, apa kata orang.

Semoga semua makhluk hidup Berbahagia. Sadhu. (STD).

**

Tangerang, 19 Juli 2022
Penulis: Setia Darma, Kompasianer Mettasik

Dharmaduta | Penulis |Dosen | Trainer | Pensiunan ASN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun