Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ibu Bumi dan Tumimbal Lahir, Lestarikan Bumi dengan Cara Egois

1 Juni 2022   06:44 Diperbarui: 1 Juni 2022   06:46 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Bumi dan Tumimbal Lahir, Lestarikan Bumi dengan Cara Egois (gambar: wallpapercave.com, gcgi.info, diolah pribadi)

Jika bicara tentang alam kehdupan setelah kematian yang diajarkan dalam agama-agama dari India seperti Hinduisme dan Buddhisme, secara umum masyarakat kita lebih akrab dengan istilah reinkarnasi untuk memaksudkan suatu konsep atau kepercayaan tentang adanya kelahiran ulang dalam pelbagai bentuk kehidupan setelah kehidupan yang ini.

Tapi sebenarnya pengertian reinkarnasi berbeda dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut rebirth, yang dalam bahasa Indonesia biasanya akan diterjemahkan sebagai tumimbal lahir.

Karena reinkarnasi berlandasan pada ajaran Hindu dan tumimbal lahir atau rebirth berasal dari Buddhisme, yang mana pada kedua ajaran itu ada perbedaan mendasar mengenai atta (diri sejati, entitas mutlak dalam diri setiap makhluk):

Hindu meyakini adanya atta, Buddhisme menolaknya melalui ajaran anatta (tidak ada inti diri).

Tapi, baiklah, kita tinggalkan dulu pembahasan rumit itu dan mari kita sepakat dalam esai ini istilah yang dipakai adalah tumimbal lahir. Apa hubungannya antara tumimbal lahir dengan Ibu Bumi?

Dalam pelbagai bentuk pendidikan tentang pentingnya melestarikan alam, kita sering menemukan ungkapan-ungkapan yang menggugah seperti "Mari kita lestarikan Bumi demi anak dan cucu kita", atau "Bumi ini bukanlah milik kita, tetapi pinjaman dari anak dan cucu kita."

Ungkapan-ungkapan itu benar adanya. Masalahnya, suka atau tidak, makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya adalah makhluk-makhluk yang terutama sekali dimotivasi oleh dorongan egosentris.

Semangat altruistik adalah sesuatu yang langka ada di kalangan kita, jika tak bisa dikatakan tak ada sama sekali. Hal ini misalnya, pernah dibahas dalam sebuah buku tentang gen-gen egois atau selfish gene yang memaparkan kepada kita bahwa, bahkan di tingkat gen pun kecenderungan untuk bersikap egois. Egosentris, itu sudah ada dan tampaknya di sisi lain adalah bagian dari mekanisme seleksi alam.

Jadi, ketika makhluk egois seperti kita mendengar ajakan "Mari lestarikan Bumi demi anak dan cucu kita", mari bersikap jujur: apa yang langsung seketika muncul dalam batin kita?

Barangkali tidak banyak yang menyadarinya karena kecepatan gerak pikiran yang luar biasa, tetapi saya yakin yang muncul adalah suatu rasa "emangnya gue pikirin" dalam pelbagai derajat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun