Mohon tunggu...
Anggun Gunawan
Anggun Gunawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang pemuda biasa (http://grepublishing.com)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tak Cukup dengan IPK Selangit

25 Maret 2013   08:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:16 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Bertambahnya pengangguran intelektual karena lulusan universitas tidak klop dengan kebutuhan dunia kerja.….” (Sjofyan Wanandi – Republika, 4 Desember 2012)

Di grup alumni Filsafat UGM, salah seorang dosenku yang saat ini sedang mengambil S3 di Amerika Serikat mengirimkan sebuah link dari harian Merdeka bertajuk “Sineas muda Yogya raih penghargaan film di Vladivostok & Hanoi” yang mengabarkan keberhasilan salah seorang alumni Filsafat UGM meraih penghargaan film tingkat internasional lewat karyanya “Bermula Dari A”, Bagus Wirati Purba Negara alias mas Popo.

Setiap kali demonstrasi yang digagas oleh mahasiswa Filsafat, mas Popo selalu membawakan teatrikal. Ya, di tahun 90-an sampai 2000-an awal, fakultas Filsafat UGM dikenal sebagai otaknya demonstrasi mahasiswa di Jogja, khususnya yang beraliran Kiri. Hari-harinya banyak dihabiskan di sekre Panta Rhei (Komunitas Pecinta Alam Mahasiswa Filsafat UGM) dan sangat jarang kutemui di kelas. Maka tak salah jika mas Popo termasuk mahasiswa telat lulus. Meskipun dia adalah alumni SMAN 3 Yogyakarta, SMA favorit yang terkenal dengan siswa-siswinya yang super cerdas.

Mas Popo yang dulu menjadi pemain teatrikal jalanan, sekarang berubah menjadi sineas kawakan dengan prestasi internasional. Apakah ada pelajaran sinematografi di Filsafat UGM? Tentu saja tidak. Mas Popo lebih banyak mengasah bakatnya di luar. Bergabung dengan komunitas.

Teman saya yang lain, malah drop out dari UGM. Sebut saja namanya Imran. Jurusannya lumayan keren, Elektronika dan Instrumentasi. Tanpa ijazah Imran pernah bekerja di Mitsubisi dan bahkan saat ini dia bekerja di World Bank sebagai pengawas pengembangan usaha kecil dan menengah. Ia juga bukan tipe mahasiswa yang suntuk belajar dan kuliah. Waktunya lebih banyak dihabiskan mengasah kemampuan marketing di Koperasi Mahasiswa UGM dan mengembangkan kemampuannya di Gadjah Mada Technology (Gama Techno), unit usaha UGM yang bergerak dalam pengembangan produk-produk teknologi informasi.

Saya menyepakati logika yang sedang dibangun oleh Sjofjan jika kerangka yang hendak dibangun adalah “setelah kuliah kemudian bekerja”. Namun, sayangnya kurikulum yang dibuat oleh “orang-orang hebat” di perguruan tinggi kita jarang yang memberikan mata kuliah praktis.  Ditambah lagi beban kuliah membuat mahasiswa terhalangi untuk mengelaborasi bakat-bakatnya. Orang-orang di kampus lebih memuja-muji mahasiswa dengan IPK setinggi langit meskipun tak punya aktivitas ekstra apapun. Bahkan mahasiswa-mahasiswa bandel seperti Mas Popo dan Imran cuma bikin pusing kampus karena lulus tidak tepat waktu dan drop out, yang artinya menurunkan grade penilaian untuk akreditasi.

Beruntung Mas Popo dan Imran tidak berpikir linear seperti kebanyakan mahasiswa sekarang, lulus cepat dengan IPK tinggi. Dunia yang dipilih oleh Mas Popo dan Imran adalah dunia kreatif-inovatif yang tak akan mungkin dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa karbitan yang cuma mengejar nilai IPK.

Kuliah itu bukan untuk menguasai teori ini dan itu. Tetapi lebih kepada bagaimana meluaskan cara pandang dan mendewasakan pemikiran serta menemukan korelasinya dalam kehidupan nyata di masyarakat. Itu juga yang diyakini oleh presenter kenamaan, Najwa Shihab. Lulus dari Fakultas Hukum UI, Najwa kemudian berkarier di bidang jurnalistik, dan sekarang menjadi Wakil Pimpinan Redaksi Metro TV.

Proses semasa menempuh pendidikan sarjana adalah proses pembentukan cara berpikir. Dari remaja galau bermetamorfosis menjadi pemuda ideologis. Sebagai sebuah proses, maka tak jarang harus melewati proses yang panjang ataupun "tragis" seperti mas Popo dan Imran. Karena masa mahasiswa adalah waktu untuk mencari karakter diri. Proses inilah yang seharusnya dihargai oleh kampus dan tak lagi saklek dengan pragmatisme lulus cepat agar akreditasi bagus. Toh pada akhirnya banyak alumni perguruan tinggi dengan IPK setinggi langit terpaksa mengambil S2 karena tak kunjung mendapat kerja.

Menurut hematku, pemerintah tidak perlu bersusah-susah memperbanyak politeknik dan berpusing-pusing dengan program Sarjana Terapan (D4) untuk menyinergikan dunia akademis dan dunia kerja Toh kecenderungannya ahli madya dari politeknik lebih melanjutkan pendidikan S1 daripada mengambil D4. Pemerintah pun tak perlu capek-capek dengan proyek berbasis kompetensi yang malah membuat mahasiswa semakin terbebani dengan kuliah yang semakin padat. Cukup dengan mengurangi beban kuliah sehingga mahasiswa bisa lebih aktif untuk mengelaborasi kemampuan dirinya dalam ranah yang lebih praktis baik di lembaga riset, organisasi intra dan ekstra kampus ataupun di lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Dunia kerja saat ini membutuhkan lulusan-lulusan universitas yang punya daya kreativitas tinggi. Persaingan tingkat tinggi hanya bisa dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan yang mampu menghadirkan gagasan dan produk inovatif dengan harga yang kompetitif. Dan aku percaya bahwa orang-orang yang ketika kuliah mengasah dirinya di luar jam kuliahlah yang mampu menghadirkan karya-karya cerdas yang diterima oleh masyarakat. Karena mereka telah terlatih dengan persoalan nyata dan sedikit banyak telah bersinggungan secara langsung dengan realitas masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun