Dalam satu tahun terakhir, takdir membawa saya merasakan denyut kehidupan yang berbeda di dua provinsi yang terpisah ratusan mil laut: Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur.Â
Lebih spesifik lagi, saya menjejakkan kaki di Boawae, sebuah kecamatan asri di Kabupaten Nagekeo, dan kemudian kembali ke hiruk pikuk metropolis Kota Surabaya.Â
Jujur, saya bukan seorang polyglot yang mampu dengan cepat fasih berbahasa daerah Boawae. Lidah Jawa saya yang kental terasa kaku untuk melafalkan setiap dialeknya. Namun, telinga saya cukup terlatih untuk menangkap beberapa kosa kata yang paling sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari.
Satu kata dari bahasa Boawae atau Flores, yang akan selamanya terngiang, juga menjadi jembatan pertama saya dengan kehangatan lokal, adalah "molo".Â
Dalam percakapan di pasar, di warung makan, atau saat beranjangsana, kata ini selalu terdengar. "Molo", setelah saya pahami, memiliki arti harfiah yang sama persis dengan kata dalam bahasa Jawa yang begitu saya kenal: "monggo".Â
Keduanya bisa berarti "silakan" saat mempersilakan seseorang, atau "permisi, saya duluan" saat hendak berpamitan. Sebuah kesamaan makna yang indah dalam bingkai bunyi yang berbeda.
Sebagai seorang perantau dari Jawa, saya akhirnya sering menjelaskan paralel linguistik ini kepada beberapa tetangga dan kawan baru di Boawae. Saya ceritakan bahwa sapaan hangat mereka, molo, punya saudara kembar di tanah kelahiran saya, yaitu monggo.Â
Lucunya, momen sederhana berbagi pengetahuan ini melahirkan sebuah fenomena kecil yang mengharukan. Di banyak kesempatan berikutnya, mereka acapkali berpamitan pada saya dengan menggabungkan dua kata dari dua bahasa yang berbeda tersebut, diucapkan dalam satu tarikan napas: "Molo, Mas. Monggo".Â
Ada asimilasi bahasa yang terjadi di sini. Bukan dalam maksud untuk menistakan satu bahasa terhadap yang lain, tetapi justru sebagai sebuah perayaan kecil atas penemuan kesamaan. Momen "Molo, Mas. Monggo" ini menjadi simbol betapa indah damai Indonesiaku ketika kita saling mengenal, menemukan bahwa dalam perbedaan kita, tersimpan makna dan nilai yang sama.
Khasanah Bahasa Daerah dalam Ancaman
Momen indah seperti "Molo, Mas. Monggo" adalah potret mikro dari kekayaan Indonesia. Namun, di balik kehangatan sapaan itu, ada sebuah kenyataan yang lebih besar dan mengkhawatirkan.Â